Friday, September 14, 2007

BETTY OLSEN DAN VIETNAM MARTYRS

Meskipun banyak misionaris pergi ke China selama abad 19, namun hanya sedikit misionaris yang memfokuskan pelayanannya ke bagian Indo-China -- Vietnam, Laos, dan Kamboja. Baru ketika memasuki abad 20, para misionaris Kristen mulai menjalin persatuan untuk memantapkan pelayanan bersama ke negara-negara itu dengan didukung oleh lembaga misi yang sudah cukup dikenal saat itu -- The Christian and Missionary Alliance. Pelayanan ini terus berlanjut sampai akhirnya para misionaris dipaksa keluar dari Vietnam pada tahun 1970-an. Indo-China merupakan wilayah yang paling sulit bagi pelayanan misi Kristen. Pada kenyataannya, belum pernah ada misionaris yang melayani di Indo-China yang terbebas dari penganiayaan. Sebagai hasilnya, banyak penduduk di Indo-China yang bekerja di berbagai instansi dapat mendengar dan menerima berita Injil. Namun demikian harus diakui banyak dari mereka yang hidup dalam suasana ketakutan karena perlakukan dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Selama masa kolonial Perancis, kegiatan penginjilan dibatasi. Ketika Jepang berkuasa di sana selama Perang Dunia II, para misionaris yang menolak untuk pergi dikumpulkan dan ditahan dalam kamp tawanan.
Perang di Asia diakhiri dengan kalahnya Jepang pada tahun 1945 yang menyebabkan tidak adanya lagi kedamaian di Indo-China. Selama 8 tahun, sejak tahun 1946, Ho Chi Minh dan pengikutnya bertempur melawan rezim Perancis yang ada di Vietnam sampai Perancis menarik pasukannya. Namun kedamaian masih tidak ada di Vietnam. Ketika penduduk Vietnam Utara yang hidup di bawah kekuasaaan komunis pindah ke wilayah Selatan, tekanan di wilayah Utara semakin meningkat. Para gerilyawan komunis menyerang penduduk desa, dan pemerintah Saigon mulai bertindak. Masuknya tentara Amerika ke Vietnam mempertajam konflik yang berkembang sehingga menjadi perang besar. Para misionaris Amerika berada dalam bahaya yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Meskipun pasukan Amerika memusatkan perhatian sepenuhnya untuk wilayah Vietnam Selatan, misionaris masih juga menerima pukulan hebat dari para gerilyawan. Aksi tentara Amerika Serikat yang membantu program militer Vietnam Selatan telah menyakiti hati Viet Cong dan pemerintah Hanoi, dan misionaris dianggap sebagai bagian dari konspirasi kapitalis-imperialis yang akan mengatur Indo-China. Para misionaris menyadari adanya permusuhan tersebut, dan wilayah- wilayah yang dievakuasi telah terinfiltrasi oleh Viet Kong. Banyak dokter dan tenaga medis yang terlibat dalam pelayanan misi kesehatan di Vietnam mati sebagai martir. Beberapa di antaranya adalah Betty Mitchell, Betty Olsen, Hank Blood, dan Mike Benge.
Menjadi pahlawan misi wanita tampaknya tidak sesuai dengan gambaran diri Betty Olsen. Banyak orang yang telah mengenalnya sejak lama mungkin meragukan kemampuannya untuk terlibat dalam pelayanan misi. Meskipun demikian, beberapa jam menjelang perayaan Tet (Tahun Monyet yang dipercaya orang Vietnam) pada 30 Januari 1968, dia mempertaruhkan nyawanya saat merawat gadis kecil, Carolyns Griswold, yang terluka parah dan berjuang untuk membawa gadis kecil itu ke rumah sakit. Dan di bulan-bulan selanjutnya yang cukup meletihkan, Betty Olsen membuktikan dirinya sebagai salah satu pahlawan iman di Vietnam.
Betty berusia 34 tahun saat pembunuhan masal di Banmethuot terjadi. Dia mendaftarkan diri sebagai perawat yang melayani kurang dari tiga tahun bersama The Christian and Missionary Alliance di Vietnam. Pelayanan misionari bukanlah hal yang baru bagi Betty. Dia dibesarkan sebagai seorang anak misionaris di Afrika, dan masa-masa terindahnya dilewatkan di negara ini. Namun masa kanak-kanaknya dipenuhi juga dengan kekacauan. Ingatan-ingatan tentang masa kecilnya yang terlintas adalah kesibukan orangtuanya dalam pelayanan misi, sehingga seringkali mereka pergi berhari-hari untuk mengunjungi gereja-gereja di Afrika. Saat berumur 8 tahun, Betty bersekolah hanya selama 8 bulan setiap tahunnya dimana setiap malamnya dia selalu menangis sebelum tidur. Bagi Betty, tinggal di asrama bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Dia memberontak terhadap aturan-aturan dan menolak berteman dengan anak-anak sebayanya. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan takut terluka atau kecewa jika nanti harus berpisah. Rasa tidak aman yang dimilikinya pada usia remaja semakin bertambah parah ketika ibunya menderita sakit kanker dan meninggal menjelang ulangtahun Betty yang ke 17.
Betty menyelesaikan SMU-nya di Amerika Serikat, lalu kembali lagi ke Afrika. Dia masih bergumul dengan perasaan tidak amannya dan mencari perhatian dari ayahnya. Kemudian dia kembali lagi ke Amerika Serikat untuk mengikuti pelatihan perawat di sebuah rumah sakit di Brooklyn. Setelah itu, Betty mendaftarkan diri ke Nyack Missionary College untuk mempersiapkan karirnya sebagai seorang misionaris.
Meskipun demikian, Betty masih belum menemukan sukacita sejati. Setelah lulus kuliah tahun 1962, dia tidak diterima untuk melayani di C&MA, jadi dia memutuskan kembali ke Afrika untuk melayani bersama ayahnya. Karena banyaknya pemberontakan yang terjadi di Afrika dan juga karena dia tidak dapat menyesuaikan diri dengan para misionaris lainnya, maka Betty diminta untuk tidak lagi melayani di tempat itu.
Pada usia 29 tahun, Betty menjadi perawat di Chicago dan benar-benar mengalami depresi rohani. Lalu dia bertemu dengan seorang pria muda yang kehidupan rohaninya mengubah hidup Betty. Pemuda ini, Bill Gothard, aktif melayani para pemuda gereja di wilayah Chicago. Betty mensharingkan pergumulannya kepada pemuda ini yang kemudian memberi Betty prinsip-prinsip Alkitab untuk mengatasi pergumulannya tentang hidup kekristenan. Setelah bergumul, Betty akhirnya mengambil keputusan bahkan mempunyai kerinduan untuk melayani Allah dan menjadi wanita lajang.
Sementara mengikuti konseling, Betty juga menjadi misionaris yang aktif di Vietnam. Konselornya, Bill Gothard, juga mengembangkan pelayanannya dengan mengadakan sebuah seminar yang dikenal dengan nama Institute in Basic Youth Conflicts. Seminar ini diadakan berdasarkan banyaknya pertanyaan dan pergumulan yang dialami Betty.
Di Vietnam, Betty bersama dengan Hank Blood (dari Wycliffe Bible Translator) dan Mike Benge ditangkap oleh pasukan Viet Cong. Ketiganya dipaksa berjalan menembus hutan selama 12 - 14 jam setiap hari. Mereka menderita demam tetapi tidak mendapatkan pengobatan. Betty adalah yang paling sehat diantara ketiga tawanan itu. Kondisi Mike semakin buruk karena penyakit malaria yang dideritanya namun dia bisa bertahan. Sedangkan Hank, selain mengalami perlakuan kasar dari para penangkapnya dan perjalanan panjang menembus hutan, penyakit ginjal yang ia derita semakin memperburuk keadaannya. Setelah mengalami lima bulan penderitaan, Hank menghembuskan nafas terakhirnya pada pertengahan Juli.
Betty dan Mike lambat laun mengalami kekurangan gizi. Kondisi kesehatan Betty menurun drastis. Kedua kakinya sangat sulit untuk dipakai berjalan. Setiap kali dia terjatuh, penangkapnya memukul dia. Dia menangis dan memohon kepada penangkapnya agar membiarkan dia mati di hutan. Namun permohonan itu diabaikan. Kondisinya bertambah buruk dengan penyakit disentri yang dideritanya. Saat Betty berulangtahun yang ke-35, dia mengalami kesakitan yang luar biasa di seluruh tubuhnya sampai tidak bisa berjalan lagi. Dua hari kemudian, Betty meninggal dunia.
Setelah kematian Betty, Mike dibawa ke Hanoi Hilton sebagai tempat penahanannya yang kedua. Pada Januari 1973, setelah hampir lima tahun berada dalam tahanan, Mike dibebaskan. Kemudian dia menceritakan kepada keluarga Betty Olsen dan Hank Blood tentang perjalanan mengerikan yang mereka alami saat berada di hutan Vietnam. Dia mensharingkan bagaimana ketiganya hanya bersandar penuh pada kekuatan Allah. Meskipun kondisi ketiganya tidak terlalu baik, mereka tetap berusaha untuk menguatkan hati orang-orang Kristen lainnya yang juga ditawan. Dalam diri Betty, yang terkenal suka memberontak dan berkata-kata tajam, Mike menjumpai seorang pribadi yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Kasih Kristus yang dimiliki Betty sangat nyata dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Sampai akhir hidupnya, Betty tetap mengasihi orang-orang yang telah menahannya dan memperlakukannya dengan kasar.
Diterjemahkan dan diringkas dari salah satu artikel di:
Judul Buku :From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions
Penulis :Ruth A. Tucker
Halaman :429 - 433

JOHN WYCLIFFE

John Wycliffe dikenal sebagai tokoh perintis gerakan reformasi di Inggris pada abad ke-14, filsof, dan juga orang terpelajar yang terkemuka pada jamannya (karena pada masa itu pendidikan di universitas masih merupakan fenomena yang baru dan peranan Wycliffe sungguh besar bagi reputasi Oxford, tempat ia belajar dan mengajar). John Wycliffe lahir di Yorkshire pada tahun 1325, dan belajar di Universitas Oxford dan memperoleh gelar doktor theologia pada tahun 1372. Wycliffe adalah seorang pemberani dan pembicara blak-blakan baik dalam teologi maupun pengetahuan. Ia mempunyai kebiasaan yang berbahaya, yaitu mengatakan secara blak-blakan apapun yang dipikirkannya. Ex, jika apa yang dipelajarinya membuatnya mempertanyakan tentang ajaran katolik resmi, ia akan langsung menyuarakannya.
Sekitar tahun 1374 Wycliffe mulai dikenal oleh umum, ia mengkhotbahkan kesewenang-wenangan, kebusukan-kebusukan Paus yang segera menarik perhatian banyak orang. Perlawanannya terhadap Paus yaitu:
Ia mempertanyakan hak Gereja atas kuasa duniawi dan kekayaannya.
(Paus menuntut hak milik gereja di Inggris adalah milik Paus; Wycliffe berpendapat harta milik gereja di Inggris adalah milik Negara). Ia berkata seharusnya gereja jangan memiliki harta milik duniawi, gereja harus menjadi miskin dan sederhana, seperti gereja pada masa Perjanjian Baru.
Ia mempertanyakan tentang penjualan surat-surat pengampunan dan jabatan-jabatan gerejawi.
Ia mempertanyakan tentang penyembahan para santo dan relikwi yang berbau takhayul, serta kuasa Paus.
Ia mempertanyakan pandangan resmi tentang Ekaristi (doktrin transsubstansiasi) yang dikeluarkan oleh Konsili Lateran Keempat (karena tidak terdapat di Alkitab).
Pada masa itu Inggris penuh sentimen terhadap Gereja Roma, dimana para pangeran dan orang awam menyesalkan cara Gereja merampas kekuasaan dan harta.
Pada tahun 1377, Wycliffe memulai kegiatan-kegiatan keluar. Ia mengutus para pengikutnya (Lollard: para imam yang menganut kemiskinan para rasul dan mengajarkan Kitab Suci kepada kalangan umum, mengembara di Inggris dengan Injil), para sarjana dan orang awam untuk berkhotbah dan membacakan Alkitab kepada umat. Pada tahun itu juga Paus mengeluarkan "bulla" (semacam fatwa/siasat/sanksi) bagi Wycliffe berdasarkan ajaran-ajarannya tersebut. Tapi ia mendapat perlindungan dari pangeran John dan Dewan Doktor di Oxford juga menyatakan bahwa tidak ada satupun tuduhan dalam bulla itu yang membenarkan bahwa ajaran Wycliffe salah. Tapi peristiwa itu mengakibatkan tulisannya dilarang, sementara ia sendiri diamankan dan dicopot dari kedudukannya di Oxford serta dilarang menyebarluaskan pandangannya. Pada tahun 1378 Wycliffe menulis buku yang berjudul "Protes" dimana ia membela rumusan-rumusan ajarannya.
Hal itu memberinya waktu untuk menerjemahkan Alkitab, karena menurut Wycliffe setiap orang harus diberi keleluasaan membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri. "Oleh karena Alkitab berisikan Kristus, yang diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, Alkitab sangat diperlukan bagi semua orang, bukan bagi para imam saja" tulisnya. Meskipun gereja tidak setuju ia dan para sarjana lain menerjemahkan Alkitab Inggris pertama yang lengkap. Dengan menggunakan salinan tulisan tangan Vulgata (Alkitab terjemahan Bahasa latin) Wycliffe berusaha keras membuat Kitab Suci agar dapat dimengerti oleh orang-orang sebangsanya. Hasilnya edisi I diterbitkan, sedangkan penerbitan ke-2 diselesaikan setelah Wycliffe meninggal, setelah mengalami perbaikan. Edisi ke-2 itu dikenal sebagai "Alkitab Wycliffe" dan dibagikan secara ilegal oleh para lollard. Wycliffe meninggal pada 31 Desember 1384, karena menderita stroke di gereja.

JOY RIDDERHOF DAN GOSPEL RECORDINGS

Di awal tahun 1930, Joy Ridderhof meninggalkan USA untuk menjadi misionaris di Honduras sebagai utusan dari Friends Mission. Hidupnya terasa sepi karena Joy adalah satu-satunya misionaris yang melayani di desa terpencil yang ada di pegunungan. Namun pelayanannya membuahkan hasil. Saat dia memberitakan Injil ke berbagai tempat di sekitar desa itu, banyak penduduk desa yang merespon dan mengikut Kristus. Tetapi kekerasan-kekerasan yang dihadapi dalam pelayanan ini dan iklim tropis mengganggu kesehatannya. Sesudah enam tahun melayani di desa itu, Joy kembali ke Los Angeles karena terserang penyakit malaria.
Untuk beberapa bulan berikutnya ketika Joy terbaring di tempat tidur untuk memulihkan kesehatannya, tapi dia terus memikirkan penduduk desa yang telah ditinggalkannya -- bagaimana kemajuan iman mereka di dalam Kristus tanpa misionaris yang memandu dan mendorong mereka. "Seandainya aku bisa meninggalkan suaraku di sana," dia memikirkan hal itu terus-menerus. Terlintas dalam pikirannya tentang keramaian bar yang ada di Honduras dan suara musiknya yang hingar-bingar. Penduduk Honduras tampaknya menyukai musik rekaman. Itulah jawaban dari problem yang dihadapinya. Joy akan mengirimkan suaranya dalam kaset rekaman dimana dia bisa memberitakan Injil melalui musik dan menggunakan bahasa tutur yang biasa digunakan penduduk desa yang dilayaninya.
Pada mulanya, ide Joy tentang perekaman Injil tampaknya seperti mimpi yang susah dijangkau, tetapi dia mulai mendoakan tentang kemungkinan tersebut dan men-sharing-kannya dengan teman-temannya; dan di tahun 1939 kaset rekaman pertamanya -- Buenas Neuvas (Kabar Baik) -- yang berdurasi 3,5 menit telah diproduksi. Saat memulihkan kesehatannya, Joy juga belajar bermain gitar, dan musik menjadi satu bagian dalam kaset-kaset rekaman yang pertama kali dibuatnya. Namun ia segera menyadari tentang pentingnya menemukan suara penutur asli untuk menyuarakan ayat-ayat Alkitab sekaligus memainkan musiknya.
Saat rekaman yang dibuat Joy tersebar, para misionaris yang melayani bagian lain di Amerika Latin juga mulai memesannya. Dalam pelayanan perekaman ini, Joy dibantu oleh Ann Sherwood, Herman Dyk, dan para relawan. Rekaman itu pada awalnya diproduksi di Los Angeles (LA). Orang Cina, Meksiko, dan penduduk dari berbagai suku Indian didatangkan ke studio untuk membuat rekaman Injil dalam bahasa tutur mereka masing-masing. Joy melihat keterbatasan dari pelayanan ini jika orang-orang dari berbagai suku itu harus datang ke LA. Solusinya adalah tim perekaman ini yang mengunjungi suku-suku tersebut -- suatu keputusan yang menandai titik balik pelayanan Gospel Recordings (yang resmi dibentuk tahun 1941 dengan nama Spanish Recordings). [Red.: Informasi lebih lengkap tentang Gospel Recordings (termasuk URL-nya) dapat anda simak dalam kolom Sumber Misi di bawah ini.]
Joy dan Ann melakukan perjalanan perekaman pertamanya di tahun 1944. Mereka memanfaatkan waktu selama 10 bulan di Meksiko dan Amerika Tengah dan perjalanan ini membuahkan hasil yaitu rekaman Injil dalam 35 bahasa dan dialek baru.
Perjalanan selanjutnya dilakukan Joy dan Ann pada tahun 1947 ke Alaska untuk merekam ayat-ayat Alkitab dalam bahasa Indian dan Eskimo. Tugas mereka sungguh sulit. Mereka melakukan perjalanan ke tempat-tempat suku terpencil, lalu mencari penduduk suku yang bisa bilingual dan bersedia untuk direkam. Namun bulan-bulan penuh perjuangan itu menampakkan hasilnya, dan Joy serta Ann kembali ke LA setelah merekam Injil ke dalam 20 bahasa suku.
Tahun 1950, Joy dan tim-nya telah merekam Injil ke dalam lebih dari 350 bahasa suku dan dialek. Aspek perekaman dari pelayanan ini melangkah maju dan semakin mantap. Namun ada problem-problem lain yang muncul -- terutama yang berhubungan dengan pemutaran kaset di wilayah-wilayah hutan yang terpencil. Gramofon yang tersedia dan didistribusikan oleh Gospel Recordings mudah sekali rusak. Joy dan tim-nya berdoa bersama meminta pencerahan. Allah menjawab doa itu saat terbersit ide untuk menggunakan gramofon manual (diputar tangan) -- gramofon ini lebih murah, tidak menggunakan tenaga motor, alat yang dapat dioperasikan oleh semua orang, dan tidak memiliki bagian-bagian mekanis yang rumit sehingga mudah diperbaiki jika rusak.
Pelayanan ini terus berlanjut dan sampai tahun 1955 lebih dari sejuta kaset telah dikirimkan ke 100 negara. Pelayanan Gospel Recordings yang dirintis oleh Joy Ridderhof telah membuahkan keselamatan untuk masing-masing pribadi dan untuk suku-suku di seluruh dunia. Seorang pria dari Meksiko bertobat setelah mendengarkan rekaman kaset Injil dan pria ini kembali ke desanya untuk mengenalkan Kristus kepada 12 orang penduduk di desanya.
Tahun 1983, setelah 40 tahun melayani bersama Gospel Recordings, Joy tidak lagi menjabat sebagai Direktur Gospel Recordings, tetapi dia masih terlibat sebagai dewan dan secara aktif menjelaskan tentang pelayanan misi dengan menggunakan media audio ini. Ada sekitar 50 orang staf full-time dan banyak sukarelawan tergabung dalam pelayanan Gospel Recordings. Mereka telah merekam dan mendistribusikan berita Injil ke dalam 4000 bahasa dan dialek. [Red.: Sekarang Gospel Recordings telah memiliki rekaman Injil dalam 5400 bahasa lebih.]
Diterjemahkan dan diringkas dari sumber:
Judul Buku: From Jerusalem to Irian Jaya
-- A Biographical History of Christian Missions
Judul Bab : Radio and Recordings: Harnessing the Air Waves
Penulis : Ruth A. Tucker
Penerbit : Academie Books, 1983
Halaman : 389 - 392

FLORENCE YOUNG

Sekitar abad 18, kepulauan Pasifik dikenal sebagai surganya bumi pada saat itu. Banyak penjelajah dan pedagang yang singgah di kepulauan tersebut selalu terpana dengan keindahan dari kepulauan ini. Termasuk juga para penulis antara lain: William Melville, Robert Louis Stevenson, dan James Michener mengungkapkan dengan piawai melalui novel-novel tulisan mereka.
Meskipun demikian, ada banyak jiwa yang tinggal di kepulauan Pasifik tersebut sedang sekarat karena belum mengenal Kristus. Banyak lembaga misi yang rindu untuk melayani di kepulauan ini dan banyak sumber daya manusia dibutuhkan untuk mendukung penginjilan yang dilakukan. Namun para misionaris yang diutus terkadang hanya sebentar melakukan pelayanannya. Selain karena faktor geografis yang agak sulit untuk menjangkau kepulauan-kepulauan tersebut pada masa itu, faktor terbesar yang membuat penduduk menolak kehadiran para misionaris adalah karena sikap dari para pedagang dan pelaut yang singgah di wilayah ini. Mereka datang untuk mengeksploitasi para penduduk -- termasuk dengan maraknya perdagangan budak pada masa itu -- dan sumber daya alam yang ada.
Walau ada banyak kendala, banyak misionaris yang terus berjuang untuk memenangkan penduduk kepulauan ini termasuk mereka yang telah dijadikan budak di tempat-tempat lain. Salah satunya adalah Florence Young yang kesaksiannya bisa Anda simak dalam Tokoh Misi berikut ini. Bila dibandingkan dengan kepulauan lain, maka pada abad 19 (sekitar tahun 1983 -- saat buku ini ditulis), kepulauan Pasifik mempunyai prosentasi kekristenan yang tinggi.
FLORENCE YOUNG -- BUNGA DI PULAU QUEENSLAND
Ironisnya, bisnis penculikan orang-orang negro atau Polinesia untuk dijadikan budak yang telah banyak menimbulkan kerusakan di kepulauan Pasific Selatan ternyata menjadi pintu gerbang utama bagi masuknya penginjilan di kepulauan Solomon. Sementara beberapa misionaris seperti John Coleridge Patteson dengan sengit menentang lalulintas tersembunyi dari bisnis "manusia" ini, namun ada beberapa misionaris lain termasuk Florence Young yang tampaknya "menerima" hal tersebut dan malah bekerja dalam sistem yang mendukung perbudakan itu.
Florence Young adalah seorang warga Sydney, Australia. Dia adalah orang yang pertama kali mengekspresikan keprihatinannya tentang kesejahteraan rohani para pekerja perkebunan di South Seas. Saudara- saudara Florence adalah pemilik Fairymead, perkebunan tebu yang besar di Queensland, dan kunjungannya ke perkebunan ini telah mengubah pandangan hidup Florence. Meskipun keterlibatan para saudaranya dengan para pedagang budak tidaklah jelas (beberapa pemilik perkebunan biasanya membuat kontrak kerja dengan badan penyalur pekerja resmi), namun yang pasti, Florence bersedia bekerja dalam sistem ini untuk mengenalkan Injil kepada para budak.
Sebagai anggota jemaat dari Plymouth Brethren, Florence Young telah mempelajari Alkitab sejak dia masih kanak-kanak dan sangat mendukung pelayanan pengajaran yang dilakukannya sejak tahun 1882. Kelas kecil pertamanya yang terdiri dari 10 budak merupakan suatu awal yang kurang menggembirakan. Namun jumlah ini terus bertambah dan tak lama kemudian, dia mempunyai 80 murid di kelas yang diadakan setiap hari Minggu. Separo dari jumlah itu datang secara rutin dalam kelompok pemahaman Alkitab yang diadakan setiap sore. Respon tersebut jauh melebihi dari yang dibayangkan Florence.
Anda bisa membayangkan kondisi para budak saat itu. Menebas batang tebu pada jam 12 siang atau selama beberapa jam setiap hari di bawah terik matahari merupakan pekerjaan yang 'mematikan'. Banyak budak meninggal karena bekerja dalam kondisi dan tekanan seperti itu termasuk Jimmie, budak pertama yang bertobat di perkebunan itu. Meskipun demikian, mereka berani mengorbankan jam-jam istiharat yang berharga untuk mendengarkan Injil.
Kesuksesan dari pelayanan Florence Young di Fairymead ini memberinya semangat untuk melakukan hal yang sama di perkebunan-perkebunan lainnya di Queensland, dimana ada 10000 budak tinggal dalam kondisi yang serupa, bahkan ada yang lebih buruk lagi. Pemberian dana kasih dari George Mueller (juga menjadi jemaat Plymouth Brethren) merupakan stimulan yang dibutuhkan Florence untuk mendirikan Queensland Kanaka Mission (Kanaka merupakan istilah yang digunakan untuk "para pekerja yang diimpor"). Florence juga mendapat dukungan dari seorang guru misionaris dan menulis surat secara rutin kepada para pemilik perkebunan yang ada di wilayahnya. Pada akhir abad 19, melalui pelayanan yang dilakukan 19 misionaris, ribuan orang telah mengikuti kursus Alkitab yang diadakan Florence dan ada yang berkeinginan untuk memberitakan Injil saat mereka kembali ke negara asal mereka.
Pada tahun 1890, Florence merasa Allah memanggilnya untuk terlibat dalam pelayanan misi ke China. Oleh karena itu, dia ikut melayani bersama China Inland Mission. Namun dia kembali lagi ke South Seas pada tahun 1900 untuk mengarahkan secara langsung pelayanan misi yang telah dirintisnya karena pelayanan ini telah mengarah ke fase yang berbeda. Hukum telah melarang perdagangan budak berkulit hitam dan sistem kerja paksa juga telah dilarang. Pada tahun 1906, banyak budak telah dipulangkan ke kampung halamannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa pelayanan Florence berhenti sampai di sini. Pelayanan Follow-up diperlukan untuk melanjutkan pelayanan yang telah dirintis tersebut. Florence dan beberapa misionaris berlayar menuju Solomon Islands dimana mereka melayani para petobat baru dan mendirikan gereja.
Pada tahun 1907, Queensland Kanaka Mission mengganti namanya menjadi South Sea Evangelical Mission. Florence dibantu oleh ketiga keponakannya -- Northcote, Norman, dan Katherine Deck sangat aktif dalam melakukan pelayanan ini. Tahun-tahun berlalu, 10 orang lebih sahabat dekatnya menjadi misionaris dan menyusul Florence ke Solomon Islands.
Diterjemahkan dari salah satu artikel di:
Judul Buku :From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions
Penulis :Ruth A. Tucker
Halaman :223 - 224

Sunday, September 9, 2007

WILLIAM BOOTH

WILLIAM BOOTH MENDIRIKAN BALA KESELAMATAN (1865)

Sementara industri bertumbuh, perlakuan semena-mena terhadap kelas- kelas pekerja pun meningkat.
Inggris sedang bergerak dari kehidupan pertanian ke kehidupan yang berorientasi pabrik, dan daerah-daerah kumuh di London pun bertumbuh. Ribuan orang dari dusun membanjiri London, mencari pekerjaan, dan sering kali mereka tinggal serta bekerja dalam kondisi-kondisi yang amat buruk.
Gereja seharusnya menjadi pelopor pertama meringankan penderitaan, namun Gereja sendiri dalam keadaan kekurangan. Seperti di seluruh Inggris, London telah terbagi-bagi dalam jemaat-jemaat, garis-garis yang tidak pernah berubah berabad-abad lamanya. Meskipun penduduk kota kian bertambah, namun Gereja Inggris tidak mempunyai cukup persediaan untuk menambah kaum rohaniwan bagi gereja. Untuk membangun jemaat baru dibutuhkan undang-undang parlemen, yang prosesnya lamban dan panjang.
Methodisme, yang telah menjadi agama kelas menengah khususnya, juga tidak dapat dengan efektif mencapai kelas pekerja. Methodis telah berupaya mencapai orang-orang yang telah berpindah ke Gereja Inggris, namun orang-orang miskin baru yang bermukim di lorong- lorong masih belum tersentuh Injil.
Prihatin dengan keadaan orang-orang miskin, maka pada tahun 1865 William Booth dan istrinya, Catherine, mendirikan misi bagi orang. orang miskin di East End London. Diawali dari sebuah tenda sederhana muncullah pelayanan Bala Keselamatan.
Di sekeliling pasangan penginjil ini terdapat rumah-rumah yang penuh sesak dengan kekerasan keluarga, mabuk-mabukan, prostitusi, dan tuna karya. Kemakmuran yang menjadi lambang teratas kelas menengah Victorian tidak meluas ke East End.
Upaya perundang-undangan tampaknya tidak memecahkan masalah ini, dan William yakin bahwa hal itu akan berubah hanya bila hati berubah. Sekali orang-orang telah mengenal Kristus, perilaku dan kondisi mereka dapat membaik.
Itu tidak berarti bahwa pasangan Booth tidak memperhatikan masalah- masalah di sekeliling mereka. Mereka mendirikan kedai "Food for the Million" (Makanan untuk jutaan orang), dengan menyajikan makanan murah. Jika perut seseorang terisi penuh, ia cenderung lebih mendengarkan berita tentang keselamatan dari Kristus yang disampaikan kepada mereka.
Meskipun banyak ide organisasi Methodisme telah ditinggalkan Booth, namun ia selangkah lebih maju dengan akhirnya menciptakan organisasi yang mengikuti garis-garis militer. Seorang pengikutnya mengiklankan sebuah pertemuan sebagai "The Hallejah Army Fighting for God" (Pasukan Halleluya Bertempur untuk Tuhan). Kontrol Booth yang tegas terhadap organisasinya membuat beberapa orang memanggilnya jenderal. Menjelang tahun 1878, kelompok ini mengambil nama Bala Keselamatan, dan jenderalnya sengaja telah mengorganisasikannya dengan pakaian seragam, perwira-perwira, marching brass band, dan majalah dengan nama The War Cry.
Ada orang-orang Kristen yang tersinggung dengan Bala Keselamatan. Sebenarnya, marching band tidak memiliki kewibawaan musik Anglikan. Apakah Iblis sedang menggunakan Bala Keselamatan untuk membuat kekristenan bahan tertawaan? Namun, Bala Keselamatan meraih sukses. Band-bandnya dapat didengar di jalan-jalan kota, dan mereka memainkan irama-irama populer dan sekuler dengan kata-kata Kristen. "Mengapa iblis harus menguasai semua irama yang terbaik?" tanya Booth.
Selain itu, di bawah pengaruh Bala Keselamatan, kehidupan keluarga- keluarga membaik. Mereka mulai memperhatikan masalah-masalah kelaparan dan tuna wisma, serta Injil diberitakan kepada banyak orang yang bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di gereja.
Namun, sementara orang-orang Kristen menentang Bala Keselamatan, beberapa non-Kristen menunjukkan reaksi yang lebih keras lagi. Ketika kelas pekerja bertobat kepada Kristus, mereka menganut kebijakan dengan berhenti minum. Hal ini merugikan perusahaan bir, dan mereka menjadi marah kepada Bala Keselamatan. Pada dua dekade terakhir abad kesembilan belas, perwira-perwira Bala Keselamatan diserang serta bangunan mereka dihancurkan.
Namun, para pengejek itu harus mengakui bahwa Bala Keselamatan telah melakukan tindakan yang baik di kala mereka mengubah pemabuk dan pemukul anak menjadi ayah yang benar dan pekerja yang baik.
Catherine, istri William, dengan kebolehannya mendukung William dalam upaya-upayanya, dan misi mereka ini diteruskan oleh anak-anak asuh mereka yang berjumlah besar. Bala Keselamatan tersebar bukan saja di Inggris, tetapi juga di setiap penjuru dunia.
Dalam seluruh hidupnya, William telah mengadakan perjalanan sejauh lima juta mil, mengkhotbahkan hampir 60.000 khotbah, dan menarik kira-kira 16.000 perwira untuk bekerja dengan dia. Dalam buku terlarisnya "In Darkest England and the Way Out", ia menunjukkan kepada banyak orang zaman Victoria bahwa mereka tidak perlu bermisi ke luar negeri untuk mencari "orang-orang miskin yang belum mengenal Allah" dan yang membutuhkan Kristus. Booth mendirikan agen-agen yang peduli akan kebutuhan fisik dan sosial orang-orang, serta memberitakan Injil. Melalui kariernya, ia telah mengasah teknik- teknik komunikasi dengan orang banyak dan berbagi tentang Kristus. Ketika ia wafat pada tahun 1912, 40.000 orang mengantar dia ke pemakaman.
Ketika Bala Keselamatan membawa berita kepada si miskin di Inggris, ia melakukan pekerjaan yang sama seperti Dia yang melayani para nelayan, wanita-wanita tuna susila dan para penderita penyakit kusta.
Diedit dari sumber:
Judul Buku : 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
Pengarang : A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang, and Randy Petersen
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, 2001
Halaman : 142 - 144

SIR ISAAC NEWTON

SIR ISAAC NEWTON
(1642-1727)
Ilmuwan Jenius dan Penganut Paham Penciptaan yang Bertanggung Jawab

Isaac Newton dikenal sebagai salah seorang ilmuwan terbesar sepanjang masa. Yang tidak begitu diketahui orang adalah imannya yang sangat teguh kepada Allah dan keyakinannya bahwa penelitian ilmiah membawa orang kepada pengenalan yang lebih dalam tentang Allah, Pencipta jagat raya ini.
PERJUANGAN MASA MUDA
Isaac Newton lahir di Woolthorpe, Lincolnshire, Inggris, pada Natal tahun 1642. Pada malam yang dingin itu, bayi yang lahir prematur itu tampaknya tidak mungkin bertahan hidup. Namun, perlahan-lahan dia bertambah besar dan kuat. Tapi tahun-tahun pertama hidupnya merupakan perjuangan yang sulit. Dua minggu sebelum Isaac lahir ibunya menjadi janda. Meskipun dibantu neneknya, ibunya tetap kesulitan merawat Isaac karena sang ibu juga harus mengurus ladang dan peternakan mereka, sementara Perang Saudara masih berkecamuk di Inggris waktu itu.
Beberapa tahun kemudian, ibunya menikah dengan seorang pendeta dari Desa North Witham, tidak jauh dari tempat tinggal mereka, tapi Isaac tetap tinggal di Woolthorpe dengan neneknya. Dia sering mengunjungi ibunya dan dengan lahap membaca buku-buku dari perpustakaan ayah tirinya, selain membaca Alkitab secara teratur. Isaac kemudian bersekolah di King`s College di Grantham, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ia anak yang rajin dan suka belajar. Ketimbang bermain-main seperti anak laki-laki lainnya, ia lebih suka membuat model-model kincir angin atau kereta. Bukan hanya ukuran mainan itu proporsional, bahkan semua komponennya juga bias berfungsi.
Untuk kedua kalinya ibunya menjadi janda tatkala Isaac berumur 14 tahun. Isaac berhenti sekolah karena ia harus bekerja di ladang dan di peternakan untuk menghidupi ibunya dan ketiga adik tirinya yang lebih muda dari dia. Tentu Isaac sangat kehilangan sekolahnya dan ibunya menyadari itu. Ketika King`s College bersedia membebaskan biaya sekolah Isaac karena kepandaian dan keadaan keluarganya yang miskin, Isaac kembali sekolah sampai selesai. Semua guru dan temannya mengagumi pengetahuan Isaac tentang Alkitab.
Kemudian Isaac melanjutkan pendidikannya ke Trinity College di Universitas Cambridge dengan niat menjadi pendeta gereja Inggris. Lagi-lagi, ia mengalami kesulitan hidup. Untuk membiayai sekolahnya, ia terpaksa melakoni berbagai pekerjaan hingga berjam-jam setiap hari, termasuk bekerja untuk profesornya. Pengetahuan Isaac tentang Alkitab tetap mengesankan orang-orang di sekitarnya.
METODE EKSPERIMEN
Pada masa itu gagasan para cendekiawan Yunani masih menguasai apa yang diajarkan dalam bidang ilmu sehingga temuan ilmiah mutakhir sebagian besar diabaikan. Ini sangat menjengkelkan Isaac yang sangat yakin bahwa gagasan dalam bidang ilmu harus diuji dan baru diterima jika kegunaannya dapat dibuktikan. Dia sepenuhnya mendukung metode eksperimen dalam ilmu. Isaac lulus tahun 1665, tak lama sebelum wabah pes yang dikenal sebagai "Black Death" melanda London. Semua universitas ditutup selama wabah merajalela. Isaac kembali ke peternakan keluarganya yang sekarang diurus oleh adiknya. Di situ, Isaac melanjutkan studi dan penelitiannya mengenai teorema binomial, cahaya, teleskop, kalkulus, dan teologi. Dia juga menyelidiki gaya berat bumi setelah,kata orang, melihat buah apel jatuh dari pohon di kebunnya. Tapi dia baru bisa memecahkan teka-teki ini beberapa tahun kemudian. (Beberapa pakar mempertanyakan kebenaran cerita "buah apel" tersebut.)
REVOLUSI DALAM MATEMATIKA
Newton menerapkan teorema binomialnya pada deret tak hingga dan dari situ mengembangkan kalkulus, bentuk matematika baru yang revolusioner. Dengan kalkulus ini, untuk pertama kalinya orang bias menghitung dengan cermat luas bidang di dalam suatu ruang berisi lengkung, dan menghitung laju perubahan suatu kuantitas fisik terhadap kuantitas fisik lainnya. Sistem matematika serupa juga dikembangkan oleh ahli matematika Jerman, Gottfried Leibniz. Ini menyebabkan timbulnya perdebatan tentang siapa yang lebih dulu menemukan sistem tersebut. Kedua belah pihak saling menuduh telah mencuri hasil kerja pihak lain. Perdebatan itu berlangsung cukup lama dan itu merupakan masa yang penuh tekanan balk bagi Newton maupun Leibniz. Baru beberapa tahun kemudian disepakati bahwa keduanya mengembangkan kalkulus sendiri-sendiri pada waktu yang hampir bersamaan. Tidak ada yang berlaku curang.
OPTIK
Ketika Universitas Cambridge dibuka kembali, Newton melanjutkan pendidikannya untuk memperoleh gelar sarjana, sambil mengajar dan melakukan penelitian. Dia menggunakan prisma untuk menunjukkan bahwa cahaya matahari terdiri atas berbagai warna, yang kita kenal sebagai warnawarni pelangi. Ini membuktikan bahwa pendapat orang Yunani kuno mengenai cahaya adalah keliru. Pada masa Newton, perkembangan astronomi sangat terhambat oleh lensa teleskop yang menguraikan sebagian cahaya matahari menjadi warna-warna yang tak diinginkan sehingga mengaburkan pandangan. Meskipun bukan orang pertama yang mempertimbangkan penggunaan cermin lengkung sebagai pengganti lensa, Newtonlah yang pertama berhasil membuat teleskop dengan menerapkan asas ini--asas yang sampai sekarang masih dipakai dalam banyak jenis teleskop.
THE ROYAL SOCIETY
Tahun 1672 Newton diterima sebagai anggota Royal Society—kelompok ilmuwan yang mengabdikan diri kepada metode eksperimental. Kepada kelompok ini, dia menyumbangkan salah satu teleskopnya yang baru bersama temuannya tentang cahaya. Kelompok ini membentuk sebuah komisi, dipimpin oleh Robert Hooke, untuk menilai temuan-temuan Newton. Hooke dipekerjakan oleh Royal Society untuk menguji coba temuan-temuan baru. Namun, karena Hooke mempunyai gagasan sendiri tentang cahaya, ia jadi enggan menerima kebenaran temuan Newton. Ini membuat Newton heran dan kecewa sehingga dia memutuskan tidak akan memublikasikan temuannya lagi. Meskipun kadang dikatakan bahwa Newton terlalu sensitif terhadap penilaian atas karyanya, sebenarnya dia hanya cemas kalau waktu yang dipakai untuk menguji coba temuan itu akan menghambatnya membuat temuan baru.
CAMPUR TANGAN POLITIK
Isaac Newton hidup pada masa politik, agama, dan pendidikan belum terpisah. Waktu itu Raja Charles II memerintahkan agar, setelah tujuh tahun, setiap pengajar di sekolah-sekolah seperti Trinity College, tempat pendidikan para pendeta Gereja Anglikan, harus juga ditahbiskan sebagai pendeta Gereja Anglikan. Termasuk orang-orang seperti Newton yang hanya mengajar matematika dan ilmu alam, bukan teologi. Meskipun sangat taat beragama, Newton tidak sepenuhnya setuju dengan beberapa doktrin Gereja Anglikan. Jadi, nuraninya tidak membenarkan dirinya ditahbiskan menjadi pendeta gereja tersebut. Dia bahkan sangat menentang keterlibatan politik dalam urusan agama dan pendidikan. Satu-satunya jalan supaya Newton bisa tetap mengajar adalah jika raja memberi pengecualian kepadanya. Tapi orang lain yang pernah minta hal yang sama ternyata ditolak.
UNJUK RASA MENDUKUNG NEWTON
Newton berangkat ke London dan selama satu minggu memperjuangkan kasusnya di hadapan raja. Selama di London, dia berkesempatan mengenal lebih baik ilmuwan-ilmuwan lain di Royal Society, demikian sebaliknya. Mereka yang selama ini hanya mengenal Newton dari surat-suratnya untuk membela temuannya, menyadari kekeliruan mereka menafsirkan sikap percaya diri Newton sebagai tanda kesombongan. Mereka jadi tahu bahwa sikap tidak sabar Newton semata-mata didorong keinginannya untuk cepat-cepat melanjutkan penelitian baru. Setelah para ilmuwan itu tahu bahwa Newton sebenarnya ramah dan peduli pada orang lain, mereka bangkit mendukungnya. Untung bagi Newton dan ilmu pengetahuan, permintaannya untuk melanjutkan tugas di Trinity College tanpa harus menjadi pendeta, dikabulkan raja.
GAYA BERAT
Pada zaman Newton banyak orang percaya takhayul, sehingga takut terhadap segala sesuatu yang tidak dipahami--misalnya kemunculan komet, dianggap sebagai pertanda datangnya malapetaka. Bahkan para ilmuwan umumnya menganggap gerakan planet-planet dan gerakan benda di bumi sebagai hal yang terpisah. Sebaliknya, Newton berpendapat bahwa karena yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah yang sama, keduanya mesti diatur oleh hukum yang sama.
Tahun 1684, Newton mulai memikirkan gaya berat. Dia mengembangkan teori gravitasi universalnya yang menggunakan apa yang kemudian dikenal sebagai hukum kuadrat terbalik. Dia mengembangkan tiga hokum gerak dan membuktikan secara matematis, bahwa hukum yang sama bias diterapkan baik kepada benda angkasa maupun benda di bumi. Iman kristianinya menuntun pikirannya ke arah yang benar. Ketika Newton sedang menyelidiki gerakan planet, dengan jelas dia merasakan bimbingan tangan Tuhan. Dia menulis, "Sistem matahari, planet, dan komet yang begitu indah, hanya bisa berasal dari pemikiran dan kekuasaan suatu hakikat yang cerdas ... hakikat ini menguasai semua hal ... Tuhan dari semuanya." (1)Sekali lagi Newton menghadapi masalah dengan saingan lamanya, Robert Hooke. Beberapa ilmuwan percaya bahwa hukum kuadrat terbalik mungkin berlaku, tapi mereka tidak bisa membuktikan bahwa hukum ini akan menghasilkan orbit elips seperti yang digambarkan oleh pakar astronomi Jerman, Johannes Kepler. Hooke membual bahwa dia bisa, tapi ternyata dia juga gagal. Ketika Newton berhasil, Hooke ingin ikut mendapat pengakuan. Karena tidak ingin dianggap berpihak, selain tidak adanya dana, Royal Society enggan menerbitkan karya besar Newton "Principia Mathematica". Namun, seorang teman Newton, pakar astronomi Edmond Halley, secara pribadi membantu membiayai penerbitan buku tersebut dalam tiga tahap pada tahun 1687. (Halley kelak memakai Hukum Newton dalam kajiannya mengenai komet yang seperti planet-planet, berorbit mengelilingi matahari dengan jalur elips.)
MENENTANG RAJA
Sesudah tahun 1685, lagi-lagi Newton menghadapi masalah karena raja ingin mencampurbaurkan politik, agama, dan pendidikan. James II, raja baru, ingin agar Trinity College menganugerahkan gelar kepada orang-orang yang menganut paham agama yang sama dengan dia, sekalipun tidak berhak. Karena perguruan tinggi ini menolak, Newton bersama delapan koleganya dibawa ke Pengadilan Tinggi dengan tuduhan yang dibuat-buat. Meskipun tuduhan ditolak, peristiwa itu membuat kesembilan orang tersebut sangat tertekan. Tapi meskipun sepanjang hidupnya Newton mengalami banyak kesulitan dan perjuangan berat, dia tidak kecewa. Sebaliknya, seperti tampak dari kata-katanya, justru dia makin dekat kepada Allah. "Pencobaan adalah obat yang diberikan oleh Dokter kita yang maha murah dan arif karena kita memang memerlukannya; dan Dia sendiri yang menjatahkan seberapa sering dan seberapa berat pencobaan itu, sesuai kebutuhan kita. Mari kita memercayai kepiawaian-Nya dan berterima kasih untuk resep yang diberikan." (2)
TAHUN-TAHUN KEMUDIAN
Isaac Newton mewakili Universitas Cambridge sebagai Anggota Parlemen tahun 1689 dan 1690. Tahun 1690 kesehatannya memburuk. Ini mungkin karena gangguan saraf akibat kerja bertahun-tahun dan seringnya ia mengalami ketegangan. Akhirnya memang dia sembuh sama sekali. Selama beberapa tahun kemudian, Newton mewujudkan apa yang menjadi cintanya yang kedua: membaca Alkitab. Buku-buku yang dia tulis antara lain "Chronology of Ancient Kingdoms" dan "Observations Upon the Prophecies of Daniel". Tahun 1696, pemerintah mengangkatnya menjadi Pelindung Mata Uang. Tugasnya adalah mengawasi penggantian mata uang Inggris yang telah tua dan rusak dengan mata uang baru yang lebih tahan lama. Dia juga bertanggung jawab membongkar jaringan pemalsu uang. Tahun 1701, Newton kembali menjadi anggota Parlemen. Dua tahun kemudian dia terpilih sebagai presiden Royal Society. Terpilihnya ia terus untuk jabatan itu setiap tahun sepanjang hidupnya, menunjukkan betapa rekan-rekannya sesama ilmuwan sangat menghormatinya. Setelah kembali ke dunia ilmu, Newton menerbitkan karya pertamanya mengenai cahaya. Buku "Opticks" (Optik) memuat temuan-temuannya mengenai optik dan saran-saran untuk penelitian lebih lanjut. Negara secara resmi mengakui karya-karyanya tahun 1705 ketika ia menjadi orang pertama yang dianugerahi gelar kebangsawanan karena prestasinya dalam bidang ilmu.
Newton meninggal tahun 1727, dalam usia 84 tahun. Dia mendapat kehormatan dimakamkan di Westminster Abbey. Tidak diragukan lagi, Isaac Newton adalah salah seorang ilmuwan terbesar. Sumbangannya banyak dan beragam, termasuk gagasan-gagasan revolusioner dan perekayasaan hal-hal praktis. Karyanya tentang fisika, matematika, dan astronomi tetap penting sampai sekarang. Ia terkenal karena sumbangannya ini. Namun, Newton tetap rendah hati. Dia mengakui bahwa keberhasilannya itu semata-mata karena Tuhan. Katanya, "Semua temuan saya adalah jawaban atas doa saya." (3) Newton mengasihi Allah dan memercayai firman Allah. Dia menulis, "Saya sangat percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah, yang ditulis oleh orang-orang yang memperoleh wahyu. Saya mempelajari Alkitab setiap hari." (4) Dia juga menulis, "Ateisme sangat tidak masuk akal. Ketika saya mengamati tata surya, saya melihat bumi berada pada jarak yang ideal dari matahari sehingga menerima panas dan cahaya dalam jumlah yang ideal pula. Ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan." (5)
PUSTAKA ACUAN
1. Isaac Newton dikutip dalam:
J.H. Tiner, Isaac Newton - Inventor, Scientist, and Teacher, Mott Media, Milford (Michigan), 1975 (bagian dalam sampul depan).
2. ibid.
3. Newton dikutip dalam:
D.C.C. Watson, Myths and Miracles - A New Approach to Genesis 1-
11, Creation Science Foundation Ltd., Acacia Ridge (Queensland,
Australia), 1988, hlm 112.
4. Newton dikutip dalam Tiner (Acuan 1).
5. ibid.
Disunting dari sumber:
Judul buku: Para Ilmuwan Mempercayai Ilahi
Penulis : Ann Lamont
Halaman : 45--58
Penerbit : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta

PAUL YONGGI CHO

Pertumbuhan dari pergerakan rohani tercepat di dunia saat ini adalah gereja injili di Korea -- sebuah gereja yang telah menetapkan sasaran untuk mengirimkan 10.000 misionaris lintas budaya di akhir tahun 1980-an. "Setiap hari di Korea Selatan rata-rata ada sepuluh gereja membuka pintunya untuk menampung gelombang petobat baru yang terus bertambah." Diperkirakan ada satu juta orang yang diubahkan menjadi Kristen setiap tahun -- suatu tingkat pertumbuhan yang memperlihatkan bahwa orang Kristen Korea akan mencapai separuh dari populasi penduduk Korea di akhir abad ini.
Misionaris di Korea mulai bekerja pada tahun 1880-an dan hampir pada saat itu ada respon yang baik -- tidak seperti yang dihadapi oleh umat Katholik Roma pada dua dekade sebelumnya. Salah satu alasan untuk hal ini kemungkinan adalah penggunaan istilah Hananim untuk Tuhan dalam bahasa Korea, dengan menghindari istilah yang diambil dari China yang digunakan oleh umat Katholik. "Penggunaan istilah Hananim," menurut Don Richardson, "adalah sangat tepat untuk misi Protestan di Korea! Mereka melakukan penginjilan di rumah-rumah, kota-kota, dan di desa-desa. Kaum misionaris Protestan memulai dengan memastikan kepercayaan orang Korea pada Hananim. Dengan membangun dasar seperti itu, orang Protestan tidak mengganggu sifat alamiah antipati orang Korea untuk tunduk pada kekuatan ketuhanan."
Dua gereja Protestan terbesar di dunia saat ini berada di Korea. Yang terbesar dari kedua gereja tersebut adalah Full Gospel Central Church dengan pendetanya Paul Yonggi Cho. Beliau telah melihat pertumbuhan yang sangat pesat. Dulu berawal dari ibadah di bawah tenda dan berkembang menjadi jemaat yang berjumlah lebih dari 270.000 jemaat. Full Gospel Central Church mempekerjakan lebih dari 300 pendeta tetap dan mengadakan tujuh kali kebaktian setiap Minggu di auditorium utama dan kapel di sebelahnya yang menampung kira-kira 30.000 orang. Terlepas dari jumlah tersebut, pelayanan Cho sendiri sangatlah mengesankan. Penginjilan adalah tujuan utamanya dan dia telah memberikan strategi penginjilannya ke seluruh dunia.
Cho dilahirkan di lingkungan keluarga Budha pada tahun 1936 selama masa kekuasaan Jepang atas Korea. Dia menderita TBC ketika masih kecil, dan beberapa orang memperkirakan dia tidak akan bisa bertahan sampai dewasa. Kondisi fisiknya yang lemah menarik perhatian seorang wanita Kristen yang mulai mengunjungi dia. Melalui kesaksian wanita itu, Cho diubahkan. Pada saat pertobatannya, Cho mulai berpikir dan bergumul tentang kerinduannya untuk dapat melayani Tuhan. Pada tahun-tahun selama pertumbuhan rohaninya, dia mulai meletakkan dasar untuk melakukan pelayanan Kristen secara penuh.
Paul Yonggi Cho lulus dari sekolah Alkitab Assemblies of God pada 1958. Dia mulai merintis "gereja tenda" di luar Seoul. "Dengan dibantu oleh calon ibu mertuanya (Jashel Choi) dan misionaris John Hurston, Pendeta Cho, yang masih menderita TBC, memberikan pelayanan mengenai iman, harapan, dan kesembuhan kepada kaum miskin dan teraniaya. Dalam enam tahun, jumlah jemaat gereja itu mencapai 2000 orang, namun Pendeta Cho mengalami kelelahan baik secara fisik dan mental. Dia pingsan ketika melayani ibadah pada tahun 1964 dan sejak itu dia merasa bimbang, apakah dia dapat kembali melanjutkan pelayanannya sebagai pendeta. Bagaimana mungkin seorang pendeta yang lemah seperti itu dapat memimpin jemaat yang begitu besar? Jika dia tetap mengambil peran sebagai pemimpin pendeta itu sama saja artinya dia menggali kubur sendiri. Pasti ada jalan keluarnya.
Selama masa penyembuhannya, Tuhan berbicara kepadanya melalui kisah Musa pada Keluaran 18:13-26. Dari pesan itulah dia mendapatkan ide untuk membagi gerejanya menjadi kelompok sel dan setiap kelompok itu akan dipimpin oleh orang yang berkompeten. Rencana itu tidak langsung disetujui begitu saja oleh jemaat dan anggota majelis. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, jemaat bertumbuh pesat dan tanggung jawab penggembalaan tidak dapat diberikan sepenuhnya kepada Pendeta Cho.
Konsep kelompok sel ini membuka kesempatan bagi Full Gospel Central Church untuk menciptakan suasana gereja dalam kelompok-kelompok kecil dan sekaligus jemaat tetap bisa menikmati suasana ibadah raya. Meskipun kelompok kecil, keanggotaan diberikan setelah seseorang memenuhi persyaratan tertentu. Seorang petobat baru harus mengikuti katekisasi selama tiga bulan sebelum dia diterima menjadi anggota sebuah kelompok sel. Bahkan keanggotaan itu hanya diberikan selama 12 bulan. Setiap tahun para anggota dievaluasi dan para anggota yang tidak aktif tidak diperbolehkan mengikuti pelayanan lagi.
Pertumbuhan Full Gospel Central Church bukanlah satu-satunya prioritas utama bagi Pendeta Cho. Pada tahun 1982, hampir 100 "gereja anak" didirikan. Pendeta Cho mengirimkan ribuan pekerjanya ke berbagai tempat untuk membuka pelayanan baru. Korea merupakan langkah awal dari program Pendeta Cho untuk terlibat dalam penginjilan dunia. Gereja pusat telah mengirimkan para misionarisnya pada tahun 1972 dan pada dekade berikutnya, lebih dari 100 misionaris full-time yang mengikuti pelatihan di seminari telah dikirim ke Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia di mana sekolah-sekolah Alkitab telah didirikan untuk melatih para petobat baru.
Melihat perkembangan misionaris selama satu dekade tersebut, Pendeta Cho membuat tujuan untuk meningkatkan jumlah misionaris. Menurutnya, pelayanan misi adalah tujuan utama dari pertumbuhan gereja. Hal tersebut merupakan strategi pertumbuhan gerejanya. Dalam rangka menyebarkan strategi pertumbuhan gerejanya itu, Pendeta Cho mendirikan Church Growth International. Pendeta Cho melakukan perjalanan secara ekstensif untuk mengadakan seminar di berbagai negara. Dia mendorong para pendeta untuk menerapkan prinsip-prinsip kelompok selnya di gereja mereka masing-masing.
Diterjemahkan dan diringkas dari salah satu artikel di:
Judul Buku : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions
Penulis : Ruth A. Tucker
Penerbit : The Zondervan, Corporation, Grand Rapids, Michigan, 1983
Halaman : 455-458

KAMPANYE BILLY GRAHAM DI LOS ANGELES (1949)

"Anda mungkin terharu bila melihat tenda besar itu kemarin siang penuh sesak dengan 6.100 orang dan beberapa ratus lagi yang tidak dapat masuk, serta melihat puluhan manusia berjalan-jalan di celah- celah barisan bangku dari segala penjuru dan menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi ketika menerima undangan."
Seorang pengkhotbah berumur 30 tahun menulis dari Los Angeles kepada para staf Sekolah Alkitab di Minneapolis, tempat ia memangku jabatan sebagai rektor. Ia menyebutnya inilah "kampanye penginjilan terbesar yang pernah saya lihat dalam seluruh pelayanan saya". Demikianlah awal dari pelayanan Billy Graham.
Orang banyak datang berduyun-duyun ke tenda besar yang didirikan di Washington Boulevard dan Hill Street -- seperti "Katedral yang Terbuat Dari Terpal". Kampanye yang direncanakan selama tiga minggu berlanjut sampai delapan minggu karena orang-orang berdatangan terus. Para selebriti bertobat di muka umum ketika Graham menyampaikan Injil yang disampaikan dengan sangat sederhana. Dikatakan bahwa seorang wartawan William Randolph Hearst memutuskan "mereklamekan" Graham -- dengan publisitas yang luar biasa. Apa pun yang terjadi, pertemuan-pertemuan Los Angeles telah menjadi buah bibir bangsa dan membuat Graham terkenal.
Ini benar-benar menjadi kejutan bagi anak muda berambut pirang dari Carolina Utara ini. Graham, anak sulung dari peternak hewan, bertobat pada suatu pertemuan yang dipimpin oleh seorang revivalis dari Selatan bernama Mordecai Ham. Seleranya berubah dari baseball ke penyelamatan jiwa-jiwa. Menginjak usia ke 22, dia ditahbiskan sebagai seorang pendeta dari Southern Baptist.
Pada tahun 1943, ia lulus dari Wheaton College dan menikahi Ruth Bell, putri seorang misionaris medis terkenal yang bertugas ke Cina. Ia mendirikan sebuah pastori di daerah Chicago, tetapi tidak lama kemudian terlibat dengan Torrey Johnson. Pada awalnya ia berbicara pada acara Johnson "Songs in the Night" di siaran radio. Kemudian melayani sebagai penginjil penuh waktu pada pelayanan baru Johnson, 'Youth for Christ'. Dalam kapasitasnya ini ia mengadakan beberapa kampanye di seputar kota menjelang akhir tahun 1940-an, termasuk tur ke Britania Raya (Great Britain) pada tahun 1946 - 1947.
Dari semula ia telah memiliki gaya penginjilan yang kooperatif. Kampayenya tidak terbatas pada gereja tertentu. Semua pemimpin Kristen dalam masyarakat akan diundang untuk merencanakan kampanye. Keputusan ini mengundang kritik banyak orang konservatif, namun justru menambah lebih banyak kepopuleran bagi Graham.
Pada awal tahun 1950-an, ia melanjutkan kesuksesan kampanye Los Angeles dengan kampanye-kampanye yang patut dicatat di Boston dan di tempat lain. Pada tahun 1954, perjalanan khotbah ke London membuatnya menjadi seorang selebritis internasional. Ia berteman dengan Presiden Eisenhower dan figur-figur kaliber dunia lainnya.
Dengan cepat Graham menguasai media massa. Ia menulis "Peace with God" (Damai Bersama Allah) yang laris terjual pada tahun 1950-an dan beberapa buku yang lain sejak saat itu. Siaran radionya "Hour of Decision" berlangsung puluhan tahun lamanya. Bersama-sama dengan mertuanya ia mengawali majalah "Christianity Today" untuk membantu para pemimpin Kristen agar selalu bersiaga secara teologis. Di kemudian hari, organisasinya meluncurkan majalah "Decision" untuk masyarakat umum. Kampanye-kampanye Graham dengan teratur disiarkan di televisi secara nasional, dan World Wide Pictures, suatu badan yang tumbuh dari Billy Graham Evangelistic Association yang telah menghasilkan lusinan film-film istimewa.
Sebagai salah satu tokoh utama dalam misi-misi dunia, Graham mensponsori Kongres Lausanne pada tahun 1974 yang merevolusi kebijakan misi-misi evangelikal dengan lebih melibatkan penduduk setempat. Pada tahun 1983 dan 1986, organisasinya membawa para penginjil berkeliling dari seluruh dunia ke Amsterdam untuk pertemuan besar bagi pendidikan dan penguatan. Billy Graham Center di Wheaton College memberi latihan komunikasi dan pelayanan, serta arsip dan 'Museum Penginjilan Abad Ke-20'.
Akhir-akhir ini, Billy Garaham dapat juga menjangkau negara-negara komunis meskipun kebijakan resmi mereka atheis. Beberapa orang mengkritik mengapa ia tidak menggunakan kepopulerannya untuk memprotes penganiayaan orang-orang percaya di negeri itu, namun fokus Graham selalu pada penginjilan, bukan pada komentar sosial.
Pemain baseball yang tinggi dan tampan dari Carolina Utara ini telah menjadi figur religius besar pada akhir abad ke-20. Stafnya memperkirakan ada dua juta orang yang telah "maju ke depan" dalam kebaktian-kebaktiannya untuk menyatakan pertobatan mereka. Lebih dari 100 juta orang hadir untuk mendengarkan kotbahnya secara langsung, dan puluhan jutaan lebih orang yang telah tersentuh melalui pelayanan medianya (Red. TV, radio, kaset, dll.). Ia telah melakukan semuanya ini dengan tetap berpegang pada yang terbaik yang dapat ia lakukan -- yaitu mengkhotbahkan Injil yang sederhana.
Diedit dari sumber:
Judul Buku : 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
Judul Artikel : Kampanye Los Angeles (1949), Billy Graham
Penulis : A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang, dan Randy Petersen
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991
Halaman : 162 - 163

INGWER LUDWIG NOMMENSEN


Nommensen adalah seorang tokoh pekabar Injil berkebangsaan Jerman yang terkenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya adalah berdirinya sebuah gereja terbesar di wilayah suku bangsa Batak Toba. Gereja itu bernama Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak berlebihan jikalau ia diberi gelar Rasul Batak. Ia sudah memberikan seluruh hidupnya bagi pekerjaan pekabaran Injil di tanah Batak. Nommensen dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1834 di sebuah pulau kecil, Noordstrand, di Jerman Utara. Nommensen sejak kecil sudah hidup di dalam kemiskinan dan penderitaan. Sejak kecil ia sudah mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Ayahnya adalah seorang yang miskin melarat dan selalu sakit-sakitan.
Pada umur 8 tahun ia mencari nafkah dengan menggembalakan domba milik orang lain pada musim panas dan pada musim dingin ia bersekolah. Pada umur 10 tahun ia menjadi buruh tani sehingga pekerjaan itu tidak asing lagi baginya. Semuanya ini nampaknya merupakan persiapan bagi pekerjaannya sebagai pekabar Injil di kemudian hari. Tahun 1846 Nommensen mengalami kecelakaan yang serius. Pada waktu ia bermain kejar-kejaran dengan temannya, tiba-tiba ia ditabrak oleh kereta berkuda. Kereta kuda itu menggilas kakinya sehingga patah. Terpaksa ia berbaring saja di tempat tidur berbulan-bulan lamanya.
Teman-temannya biasanya datang menceritakan pelajaran dan cerita-cerita yang disampaikan guru di sekolah. Cerita-cerita itu adalah tentang pengalaman pendeta-pendeta yang pergi memberitakan Injil
kepada banyak orang dan Nommensen sangat tertarik mendengar cerita-cerita itu.
Lukanya makin menjadi parah sehingga dia tidak dapat berjalan sama sekali. Sekalipun sakit, Nommensen belajar merajut kaos, menjahit dan menambal sendiri pakaiannya yang robek. Pada suatu hari ia membaca Yohanes 16:23-26, yaitu tentang kata-kata Tuhan Yesus bahwa siapa yang meminta kepada Bapa di surga maka Bapa akan mengabulkannya. Nommensen bertanya kepada ibunya, apakah perkataan Yesus itu masih berlaku atau tidak. Ibunya meyakinkannya bahwa perkataan itu masih berlaku. Ia meminta ibunya untuk berdoa bersama-sama. Nommensen meminta kesembuhan dan dengan janji, jikalau ia sembuh maka ia akan pergi memberitakan Injil. Dan memang doanya dikabulkan karena beberapa minggu kemudian kakinya sembuh. Setelah sembuh kembalilah Nommensen menggembalakan domba lagi. Janjinya selalu menggodanya untuk segera memenuhinya. Oleh karena itu ia melamar untuk menjadi penginjil pada Lembaga Pekabaran Injil Rhein (RMG). Beberapa tahun lamanya ia belajar sebagai calon pekabar Injl. Tahun 1861 ia ditahbiskan menjadi pendeta. Dan sesudahnya ia berangkat menuju Sumatera dan tiba pada bulan Mei 1862 di Padang. Ia memulai pekerjaannya di Barus. Ia mulai belajar bahasa Batak dan bahasa Melayu yang cepat sekali dapat dikuasainya. Sekarang ia mulai mengadakan kontak-kontak dengan orang-orang Batak, terutama dengan raja-raja. Ia tidak jemu mengadakan perjalanan keliling untuk menciptakan hubungan pergaulan yang baik. Ia mempelajari adat-istiadat Batak dan mempergunakannya dalam mempererat pergaulan. Nommensen meminta ijin untuk masuk ke pedalaman namun dilarang
oleh pemerintah, karena sangat berbahaya bagi seorang asing. Namun Nommensen tidak takut. Ia memilih Silindung sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ia mendapat gangguan yang hebat di sini, namun
ia tidak putus asa. Ia berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame (Kampung Damai). Tahun 1873 ia mendirikan sebuah gedung gereja, sekolah dan rumahnya sendiri di Pearaja. Sampai sekarang Pearaja menjadi pusat HKBP. Pekerjaan Nommensen diberkati Tuhan sehingga Injil makin meluas. Sekali lagi ia memindahkan tempat tinggalnya ke kampung Sigumpar, pada tahun 1891 dan ia tinggal di sini sampai dengan meninggalnya. Nommensen memberitakan Injil di tanah Batak dengan berbagai macam cara. Ia menerjemahkan PB ke dalam bahasa Toba dan menerbitkan cerita-cerita Batak. Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal, menebus hamba-hamba dari tuan-tuannya, dan membuka sekolah-sekolah serta balai-balai pengobatan. Dalam pekerjaan pekabaran Injil ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang-orang Batak sehingga dibukalah sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak pribumi. Juga untuk kebutuhan guru-guru sekolah, dibukanya pendidikan guru. Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan maka pimpinan RMG mengangkatnya menjadi Ephorus pada tahun 1881. Pada hari ulang tahunnya yang ke-70, Universitas Bonn memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Nommensen. Nommensen meninggal pada umur yang sangat tua, pada umur 84 tahun. Ia meninggal pada 12 Mei 1918. Nommensen dikuburkan di Sigumpar di tengah-tengah suku bangsa Batak setelah bekerja dalam kalangan suku bangsa ini selama 57 tahun lamanya.

Artikel diedit dari sumber:
Judul Buku : Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dlm Sejarah Gereja
Judul Artikel: Nommensen, Ingwe Ludwig
Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th.
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999
Halaman : 198 – 200

HUDSON TAYLOR

Hudson Taylor dilahirkan di Yorkshire, Inggris, pada tahun 1832. Sejak masih kecil, ayahnya -- seorang ahli pharmasi, telah menanamkan nilai- nilai Kristiani kepadanya. Setiap hari ayahnya selalu membacakan dan menjelaskan ayat-ayat dalam Alkitab. Bahkan ia menginginkan agar anaknya kelak menjadi seorang misionaris. Usaha ini ternyata tidaklah sia-sia karena ternyata sebelum berumur lima tahun Taylor sudah mempunyai keinginan untuk menjadi seorang misionaris dan tempat yang menjadi tujuan dari misinya adalah China.

Meskipun sejak kecil sudah terbiasa dengan kehidupan Kristiani, ternyata pada saat mulai menginjak remaja, ia mulai merasa ragu-ragu dengan apa yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Tetapi berkat doa dari ibu dan saudara perempuannya, keragu-raguan itu akhirnya dapat segera diatasi setelah ia membaca sebuah buku tentang karya penyelamatan Kristus yang ia temukan di ruang baca ayahnya. Ia lalu berlutut dan berdoa kepada Tuhan serta mohon pengampunan pada-Nya. Sejak saat itu Taylor mulai memusatkan perhatiannya pada keinginannya untuk melakukan misinya ke China.

Meskipun sangat antusias dengan misi penginjilannya itu tetapi ia tetap mengutamakan pendidikannya di bidang farmasi. Keinginannya untuk melakukan misi penginjilan di China dapat terwujud secara tak sengaja ketika Hung, yang juga seorang Kristen, menjadi kaisar di China. Demi mewujudkan keinginannya itu ia rela berhenti dari training dibidang obat-obatan yang selama ini ia kerjakan. Kesempatan untuk melakukan penginjilan di China ini juga merupakan jawaban doa direktur Chinese Evangelization Society (CES) yang mensponsori pelatihan yang diikuti Taylor.

CES adalah suatu misi penginjilan di atas kapal yang tidak terorganisasi dan tak seorangpun di China yang diijinkan untuk bekerja dengan misi ini.

Taylor mulai berlayar ke China pada bulan September 1853 dan tiba di Shanghai di awal musim semi tahun 1854. Bagi Taylor, China dengan berbagai adat istiadat masyarakatnya dan berbagai keunikan lainnya sangat menantang dirinya untuk melakukan misi penginjilan tersebut. Kesepian adalah masalah utama yang dihadapi Taylor pada saat tiba di Shanghai, selain itu ia juga mengalami masalah keuangan sedangkan di Shanghai pada waktu itu sedang terjadi kenaikan harga-harga kebutuhan.

Usaha-usahanya untuk menyesuaikan diri dengan bahasa setempat sempat membuatnya sangat tertekan. Tetapi dengan iman dan kepercayaannya yang kuat kepada Tuhan, ia berhasil mengatasinya dengan mulai menyalurkan hobinya, yaitu bercocok tanam dan mengoleksi serangga.

Setahun setelah ia sampai di China, Taylor segera mulai melakukan perjalanan penginjilan menelusuri China. Dalam perjalanannya itu ia terkadang harus melakukannya seorang diri tanpa bantuan orang lain. Di Shanghai, misionaris yang berasal dari luar negeri bukanlah hal yang baru. Meskipun demikian ketika Taylor mulai melakukan penginjilan, masyarakat Shanghai tidak memperhatikan pesan yang ia sampaikan. Mereka jauh lebih tertarik pada cara berpakaian dan cara hidupnya. Keadaan ini membuat Taylor sadar bahwa hanya ada satu cara untuk bisa melakukan penginjilan di daerah ini, yaitu dengan menjadi orang China, yaitu mengikuti cara berpakaian dan kebudayaannya.

Meskipun mengikuti tradisi China ternyata bukanlah hal yang mudah bagi Taylor, namun ia tetap melakukannya. Ia rela mencukur rambutnya dengan model "pigtail", botak di bagian depan kepalanya dan panjang serta dikepang di bagian belakang, bahkan ia pun rela mengubah cara berpakaiannya. Walaupun perubahan penampilannya itu sangat menyiksa dirinya bahkan ia dijadikan bahan lelucon dari pengikut-pengikutnya tetapi perubahan itu baginya adalah suatu "trademark" tersendiri. Ternyata usahanya ini tidaklah sia-sia karena dengan penampilannya yang baru ini justru memudahkan dirinya dalam melakukan perjalanan penginjilan ke seluruh China.

Perjalanan yang harus ia tempuh bukanlah suatu perjalanan yang mudah karena selain melakukan penginjilan, Taylor juga melakukan praktek pengobatan dan ia pun harus bersaing dengan dokter lokal. Masalah keuangan tetap menjadi beban utama Taylor sehingga ia tetap mengharapkan kiriman dana dari Inggris. Selain itu rasa sepi yang pernah ia alami pada bulan-bulan awal ketika ia tiba di Shanghai masih tetap membayanginya sehingga mulai terpikir dalam benaknya untuk memiliki seorang istri. Taylor teringat kembali kepada Miss Vaughn, tunangannya ketika masih berada di Inggris yang meskipun telah bertunangan dua kali mereka gagal menikah karena Miss Vaughn tidak mau ikut Taylor ke China. Taylor kemudian sadar bahwa keinginannya untuk untuk memperistri Miss Vaughn adalah sia-sia.

Taylor kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Elizabeth Sisson, seorang gadis yang juga ia kenal di Inggris. Meskipun Elizabeth tidak menolak lamarannya, namun ternyata kisah mereka tidak berjalan lama. Elizabeth memutuskan pertunangan mereka dan diduga penyebabnya adalah karena model pakaian dan rambut Taylor yang seperti orang China. Keputusan Elizabeth ini sempat membuat Taylor "menyerah dari penginjilan" yang ia lakukan. Sampai akhirnya ketika Taylor tiba di Ningpo, sebuah kota di sebelah selatan Shanghai ia bertemu dengan Maria Dyer. Maria adalah seorang guru di sebuah sekolah yang khusus untuk anak perempuan milik Miss Mary Ann Aldersey. Miss Aldersey adalah seorang misionaris wanita pertama yang datang ke China dan ia juga orang pertama yang membuka sekolah untuk anak perempuan di negara yang didominasi oleh kaum pria ini.

Maria dan Taylor berkenalan di bulan Maret 1857. Meskipun pada awalnya Maria menolak lamaran Taylor namun akhirnya mereka menikah pada tanggal 20 Januari 1858. Maria benar-benar merupakan wanita yang Taylor butuhkan untuk melengkapi kehidupannya. Mereka tinggal Ningpo selama tiga tahun dan selama waktu itu secara tak sengaja Taylor diangkat menjadi seorang pengawas di sebuah rumah sakit lokal setempat.

Tahun 1860 Taylor dan Maria kembali ke London untuk mempersiapkan berbagai hal dan memulihkan kesehatan mereka. Kesempatan ini juga digunakan Taylor untuk melanjutkan pendidikannya selain juga untuk membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ningpo.

Pada saat yang sama, Taylor mendirikan China Inland Mission (CIM) -- suatu organisasi misionaris yang terbentuk berdasarkan pengalaman dan kepribadian Taylor. Taylor sadar bahwa China tidak akan pernah menerima penginjilan jika ia harus menunggu misionaris yang terpelajar untuk pergi ke sana. Karena itu Taylor merekrut orang-orang Inggris yang terpelajar untuk melakukan penginjilan ke China. Taylor juga mendirikan kantor CIM di China yang akan memperhatikan berbagai kebutuhan misionaris di sana.

Secara resmi CIM berdiri pada tahun 1865 dan tahun berikutnya Taylor mulai melakukan persiapan untuk berlayar ke China bersama dengan Maria, keempat anaknya, lima belas orang pengikutnya. Selama dalam pelayaran, rombongan ini tidak lepas dari berbagai permasalahan yang melanda mereka tetapi berkat kesabaran dan pendekatan secara pribadi segala permasalahan dapat diatasi oleh Taylor.

Setibanya di Shanghai, Taylor segera memesan pakaian model China bagi pengikutnya. Meskipun para pengikutnya telah mengetahui cara adaptasi ini tetapi keterkejutan mereka tetap tak dapat dihindari. Bahkan pengikut setia Taylor-pun ada yang merasa putus asa dan ingin menyerah, tetapi berkat pertolongan Tuhan permasalahan ini dapat diatasi.

Pada tahun 1868, rumah yang digunakan sebagai tempat penginjilan Taylor di Yangchow, dirusak dan dibakar. Peristiwa ini hampir merenggut nyawa para misionaris dan Maria. Meskipun peristiwa ini mengakibatkan banyak kerugian dan sempat membuat Taylor menyerah tetapi berkat dukungan dari salah seorang temannya, semangat Taylor kembali menyala untuk meneruskan misinya. Ia merasa bahwa melalui berbagai peristiwa yang terjadi Tuhan menjadikan ia sebagai orang yang baru.

Peristiwa yang tak kalah menyedihkannya adalah ketika Sammy, anaknya yang masih berusia lima tahun meninggal di awal bulan Februari. Beberapa bulan kemudian, Maria yang sedang hamil menderita sakit yang sangat serius. Awal bulan Juli Maria melahirkan seorang anak laki-laki yang hanya berumur dua minggu. Beberapa hari setelah kematian anaknya ini, Maria juga meninggal pada usia 33 tahun.

Tanpa Maria, Taylor benar-benar kehilangan semangat dan kesepian. Karena alasan itulah sebulan setelah kematian Maria, ia pergi ke Hangchow. Di sanalah ia menghabiskan waktu bersama Jennie Faulding, seorang misionaris muda yang masih berusia 22 tahun yang merupakan teman dekat keluarga Taylor sejak mereka tiba di China. Setahun kemudian mereka kembali ke Inggris dan menikah. Tahun 1872, mereka kembali lagi ke China bersama dengan para misionaris yang lebih banyak lagi jumlahnya.

Seiring dengan perkembangan CIM, Taylor menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengelilingi China. Semakin luas daerah yang diinjili semakin besar pula beban yang harus ditanggung. Meskipun demikian, Taylor mempunyai rencana, yaitu jika ia berhasil merekrut 1000 misionaris dan jika masing-masing misionaris bisa menginjili 250 orang setiap hari maka hanya dalam jangka waktu kira-kira tiga tahun seluruh China sudah bisa mendapatkan penginjilan. Ini adalah visi yang tidak realistik, dan rencananya ini tidak pernah tercapai. Meskipun demikian, CIM memberikan sesuatu yang tak terlupakan di China. Tahun 1882 CIM berhasil memasuki setiap propinsi di China dan di tahun 1895, 30 setelah didirikan, CIM telah memiliki lebih dari 650 misionaris yang mengabdikan hidupnya di China.

Tahun-tahun terakhir di abad 19 adalah tahun yang penuh dengan tekanan dan melelahkan. Tekanan modernisasi dan pengaruh dari negara barat berlawanan dengan tekanan tradisi dan antagonisme terhadap orang-orang asing. Pada bulan Juni 1900 kekaisaran Peking memerintahkan untuk membunuh semua orang asing dan melarang semua kegiatan yang berhubungan dengan agama Kristen. 135 orang misionaris dan 53 anak- anak para misionaris dibunuh secara brutal.

Taylor kemudian diasingkan di Switzerland, memulihkan kembali kesehatannya dari kejadian yang membuatnya trauma meskipun ia tidak dapat benar-benar menghilangkan trauma yang dialaminya. Tahun 1902, Taylor menempati kembali jabatannya sebagai pimpinan utama misi. Taylor dan Jennie tinggal disana sampai Jennie meninggal tahun 1904. Setahun kemudian Taylor kembali ke China dimana akhirnya ia meninggal dengan tenang sebulan setelah kedatangannya.

Meskipun Taylor telah meninggal, namun CIM tetap berkembang. Puncak kejayaan CIM terjadi tahun 1914 dimana CIM menjadi organisasi misi yang terbesar di dunia dan pada tahun 1934 berhasil memiliki misionaris sebanyak 1368. Tahun 1964 CIM berganti nama menjadi "The Overseas Missionary Fellowship".
Diterjemahkan dan diringkas dari sumber:
Judul Buku : BAGAIMANA TOKOH-TOKOH KRISTEN BERTEMU DENGAN KRISTUS
Judul Artikel : Pelopor Utusan Injil -- Hudson Taylor
Penulis : James C. Hefley
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000
Halaman : 66 - 68
Judul Buku : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions
Judul Bab : The Far East : "Barbarians Not Welcome"
Judul Artikel : The J. Hudson Taylors
Penulis : Ruth A. Tucker
Penerbit : Academie Books, 1983
Halaman : 173 – 188

D.L. MOODY

Dwight L. Moody dilahirkan di Northfield, Massachusetts, pada tanggal 5 February 1837 dari pasangan Edwin Moody dan Betsey Holtom. Ayahnya bekerja sebagai seorang tukang batu. Ayahnya meninggal saat Moody masih kecil dan dalam masa kesusahan mereka. Sejak itu ibunyalah yang bekerja keras membanting tulang untuk membesarkan anak-anaknya menjadi orang-orang dewasa yang baik.

Masa kecil Moody dilalui sebagaimana anak-anak kecil lain di tempatnya. Ia bersekolah, dan pada musim panas ia bekerja untuk menggembalakan lembu tetangganya dengan upah satu sen sehari. Moody merupakan anak yang periang dan humoris, tapi juga terkadang nakal dan menjadi pengacau di kelasnya. Sampai suatu saat Moody berhadapan dengan gurunya yang menegur perbuatan Moody dengan kasih dan teguran itu membuat Moody menyadari kesalahannya.

Moody kecil tidak terlalu berminat terhadap masalah agama, tetapi ibunya Betsey selalu tekun mengajar anak-anaknya untuk berdoa dan menepati janji. Dari masa kecilnya tidak ada tanda atau peristiwa yang menunjukkan bahwa Moody akan dapat berbuat demikian mengagumkan di kemudian hari.

Saat beranjak dewasa ia pindah ke Boston untuk bekerja di perusahaan sepatu pamannya sebagai pelayan toko. Ia memiliki cita-cita untuk menjadi pengusaha yang sukses dan mulai belajar seluk beluk perusahaan. Di kota inilah ia mulai mengalami pertumbuhan rohani ketika berjemaat di Gereja Mount Vernon. Pada tanggal 20 September 1856 Moody pindah ke Chicago untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan untuk mengikuti bimbingan Allah. Pekerjaannya tidak jauh dari pekerjaan sebelumnya yakni di toko sepatu. Ia suka sekali bersosialisasi dengan orang-orang baru terutama orang-orang yang merantau.

Ia pun memulai pelayanannya dengan membagi-bagikan brosur dan selebaran serta mengajak orang-orang untuk menghadiri kebaktian gereja. Ia juga membuka Sekolah Minggu dengan tujuan untuk menyelamatkan anak-anak di bagian kota yang buruk. Banyak anak nakal yang tadinya menentangnya diajaknya bergabung dan mereka menuruti ajakannya dan bertobat. Pekerjaannya pun juga semakin membaik.

Moody mulai berkonsentrasi penuh dalam melayani Tuhan, di tahun 1860 ia mengambil keputusan untuk meninggalkan bisnisnya. Ia mulai mengadakan kebaktian-kebaktian minggu malam untuk anak-anak dan bergabung dengan Young Men's Christian Association (YMCA) di Chicago. Pelayanannya pun semakin berkembang dan untuk menampung kebaktian orang-orang yang dilayaninya ia mendirikan Illinois Street Church.

Pada masa perang saudara meletus, Moody juga terjun memberitakan Injil ke kemah-kemah prajurit dan mengadakan kebaktian-kebaktian. Sampai- sampai ada resimen yang disebut resimen YMCA karena terdiri dari orang-orang Kristen yang taat.

Pelayanannya ke Inggris dimulai pada tahun 1867 dan ia mengunjungi beberapa tempat di sana serta Irlandia. Di tempat inilah Moody bertemu dengan seorang pendeta muda bernama Harry Moorehouse yang meminta Moody agar diijinkan untuk berkhotbah di gerejanya di Chicago. Awalnya Moody menilai bahwa pemuda tersebut belum cakap dalam berkhotbah tapi pada akhirnya ia mengijinkan Harry untuk berkhotbah di gerejanya. Ternyata tidak seperti yang dipikirkannya Harry mampu membawakan khotbahnya dengan sangat mengesankan selama tujuh hari berturut-turut dari pasal yang sama Yohanes 3:16 dengan pewahyuan yang selalu baru. Hal ini mengubah cara Moody berkhotbah dan dia semakin rajin menyelidiki Alkitab.

Dalam pelayanannya banyak orang yang membantu Moody, termasuk Ira D. Sankey seorang yang memiliki talenta dalam menyanyi, yang tadinya sudah bekerja sebagai pegawai negeri di bidang pajak. Kemudian ia diajak Moody untuk full time sebagai pemimpin pujian dalam pelayanannya. Sankey meminta waktu untuk berpikir dan akhirnya menerima tawaran tersebut. Bersama-sama mereka menjadi pasangan yang luar biasa dalam mengabarkan Injil.

Tanggal 8 Oktober 1871 terjadi kebakaran besar di Chicago. Illinois Street Church dan Farewell Hall tempat Moody melayani selama bertahun- tahun turut terbakar. Namun Moody tidak putus asa. Ia segera mencari dukungan dari berbagai pihak untuk menolong para korban kebakaran dan gerejanya. Bantuan pun segera mengalir dari berbagai pihak, usahanya tidak sia-sia karena 2,5 bulan kemudian didirikan bangunan sementara yang letaknya tak jauh dari bangunan terdahulu dan dinamakan North Side Tabernacle. Semakin banyak orang datang ke kebaktian yang diadakannya di tempat tersebut.

Tahun 1873-1875, D.L. Moody kembali mengunjungi Inggris, dan mengunjungi kota-kota yang ada di sana. Di setiap tempat yang ia kunjungi beratus-ratus orang bertobat dan diselamatkan. Banyak surat kabar merekam peristiwa kebaktian yang dipimpin oleh D.L. Moody. Ia juga selalu melibatkan hamba-hamba Tuhan lokal dari berbagai aliran untuk membantu pelayanannya.

Khotbahnya yang terakhir adalah di Kansas, Missouri, di gedung Convention Hall yang berkapasitas 15.000 orang. Ia berkhotbah dari Lukas 14:16-24 tentang perumpamaan orang-orang yang berdalih. Setelah itu Moody jatuh sakit dan tidak bisa melanjutkan pelayanannya. Kemudian ia pulang kembali ke kotanya Northfield untuk beristirahat. Di kotanya inilah Moody menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan membawa kedamaian surgawi pada tanggal 22 Desember 1899. Dia menorehkan kenangan manis bagi keluarganya dan setiap orang yang pernah dilayaninya.
Sumber:
Judul Buku : Riwayat Hidup D.L. Moody
Penulis : AP. Fitt
Penerbit : Christian Literature Crusade

MARTIN LUTHER KING, JR.

"Saya mempunyai impian ...." Inilah seorang yang memiliki impian, dan ia telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengejar impiannya dan menyerahkan nyawanya bagi impiannya tersebut.

Namanya ialah Martin Luther King, Jr., dan impiannya adalah bahwa "Keempat anak saya yang masih kecil pada satu hari akan hidup di dalam suatu bangsa, di mana mereka tidak akan dinilai dari warna kulit mereka tetapi dari kandungan karakternya ...." Kata-kata tersebut mengguncang Amerika. Martin Luther King Jr. dikenal sebagai Pembela Hak dan Martabat Manusia (HAM) tanpa kekerasan.

Martin Luther King, Jr., pendeta muda ini, dilahirkan pada tanggal 15 Januari 1929 dalam keluarga pendeta Baptis. Dia dididik di Morehouse College dan Crozer Theological Seminary. Dia meraih gelar Ph.D. dari Boston University. Pada tahun 1954 ia menjadi pendeta Gereja Baptis Dexter Avenue di Montgomery, Alabama.

Satu tahun kemudian, seorang wanita berkulit hitam, Ny. Rosa Parks, mengambil sebuah langkah yang mengubah hidup King. Meskipun orang-orang kulit hitam diharuskan menumpang hanya di bagian belakang bus umum, ia duduk di depan -- semua tempat duduk di belakang telah terisi, dan ia mengambil tempat duduk pertama di bagian depan. Ia ditangkap karena melanggar undang-undang pemisahan (segretation law).

Martin Luther King Jr. mendukungnya dengan memimpin boikot pada sistem bus Montgomery. Sebenarnya orang-orang hitam lah penumpang terbanyak sistem bus tersebut, dan mereka diperlakukan dengan tidak adil. Maka orang-orang kulit hitam pun menolak naik bus selama diskriminasi masih berlanjut. Mereka merasa "lebih terhormat berjalan kaki daripada menumpang bus dengan kehinaan".

Terpengaruh dengan cara-cara tanpa kekerasannya Gandhi, King dan yang lain memprotes. "Kami akan mengimbangi kapasitas Anda yang menyebabkan kesengsaraan ... Perbuatlah kepada kami apa yang Anda inginkan dan kami akan terus-menerus mengasihi Anda," kata King merespons penyerang-penyerangnya. Mengikuti jejak Yesus, ia menyerukan,
"Yesus menegaskan dari kayu salib sebuah hukum yang lebih tinggi. Ia tahu bahwa filsafat kuno -- mata ganti mata -- akan membuat semua orang buta. Ia tidak berupaya mengatasi kejahatan dengan kejahatan. Ia mengatasi kejahatan dengan kebaikan. Meskipun disalibkan karena kebencian, Ia menanggapinya dengan kasih yang agresif."

Dengan diorganisasikannya Southern Christian Leadership Conference (Konferensi Kepemimpinan Kristen Selatan) yang diketuainya, King berkampanye di kota-kota bagian selatan: Jackson, Selma, Meridian, dan Birmingham. Namun, pengaruhnya meluas lebih jauh ketika ia memimpin serangan-serangan terhadap ketidakadilan sosial di kota-kota bagian utara.

Sekelompok pendeta Protestan kulit hitam terdekat, termasuk Jesse Jackson, mendukung King, dan orang-orang kulit putih, Katolik serta Yahudi tidak lama kemudian bergabung dalam barisannya. Metode-metode tanpa kekerasan menghadapi serangan selang, pentungan, anjing dan pemukul. Meskipun banyak orang Kristen mendukungnya, beberapa lawan King yang paling vokal pun menyebut nama Kristus. Pada musim semi 1963, King ditangkap karena memimpin gerakan protes di Birmingham, Alabama. Para rohaniawan di Atlanta mengkritiknya karena meninggalkan gerejanya di Montgomery. "Apa haknya terlibat di tempat lain, di mana dia bukan warganya?" tanya mereka.

Dalam "Surat dari Penjara Birmingham", King memberikan tanggapan bahwa "ketidakadilan di mana pun mengancam keadilan". Bagi mereka yang ada di luar "panah pemisah yang menyengat" dan yang menasihatinya untuk menunggu, ia menjawab: ".... Bila Anda disiksa pada siang hari dan dihantui pada malam hari karena Anda seorang Negro, senantiasa hidup dalam kecemasan, tanpa sepenuhnya mengetahui apa yang harus diharapkan berikutnya; dan jika digerogoti ketakutan di dalam hati dan amarah di luar; jika Anda senantiasa bergumul dengan perasaan yang terus memburuk bahwa Anda 'bukan apa-apa' -- barulah anda akan mengerti mengapa kami tidak sabar menunggu."

Gerakan protes atas Washington pada tahun 1963 merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah perjuangan hak sipil karena pengaruhnya telah berjasa bagi lahirnya Undang-undang Hak Sipil pada tahun 1964 dan Undang-undang Hak Pilih pada tahun 1965. Pada gerakan protes tersebut, Martin Luther King Jr. menampilkan impiannya:
"Saya mempunyai impian bahwa keempat anak saya yang masih kecil pada satu hari akan hidup di dalam suatu bangsa, di mana mereka tidak akan dinilai dari warna kulit mereka tetapi dari kandungan karakternya ... Dengan iman ini kami dapat mengubah suara-suara tidak harmonis di negeri kita menjadi simponi persaudaraan yang indah. Dengan keyakinan ini kita dapat bekerja sama, berdoa bersama dengan kesadaran bahwa kita akan bebas pada suatu hari kelak."

Pada tahun 1964, King menerima hadiah Nobel Perdamaian, suatu penghargaan yang mewujudkan sebagian impian itu.

King pergi ke Memphis, Tennessee, untuk mendukung pemogokan para pekerja pengangkut sampah pada tahun 1968. Pada tanggal 4 April, ketika ia sedang berdiri di lorong lantai dua di motelnya di Mulberry Street, bercakap-cakap dengan rekan-rekannya, ia ditembak seorang pembunuh. Peluru itu merenggut nyawanya, tetapi tidak mengakhiri impiannya yang sedang berlanjut.

Sebagai tanggapan atas keberanian dan kesaksian yang merupakan tekad rohaniawan ini, hari Senin ketiga bulan Januari ditetapkan sebagai Hari Martin Luther King. Dialah satu-satunya rohaniawan Amerika yang namanya dicantumkan pada kalender sebagai penghormatan.

Diedit dari sumber:
Judul Buku : 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
Judul Artikel : Martin Luther King, Jr., Memimpin Pawai ke Washington
Penulis : A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang, dan Randy Petersen
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991
Halaman : 166 - 168

Did Jesus Declare All Meats Clean?

by Larry Walker

In this series of articles we have examined statements of Jesus Christ that when understood correctly are surprisingly different in meaning from the way they are commonly understood. In the case of dietary restrictions recorded in the Bible, the surprise may be the result of understanding not just what Jesus said but what He did not say in the Gospel of Mark.

Many believe that in His encounter with the Pharisees recorded in Mark 7:1-23, Jesus abrogated the laws of clean and unclean meats revealed in Leviticus 11 and Deuteronomy 14. In fact, many modern translations of the New Testament insert additional words into the text of Mark 7:19 to reflect this understanding. For example, the New International Version ends the verse with: "(In saying this, Jesus declared all foods 'clean')."

The New King James Version has "thus purifying all foods" and includes the marginal explanation: "NU [an abbreviation for the text used by many New Testament translations] sets off the final phrase as Mark's comment, that Jesus has declared all foods clean."

But is this textual variation correct? Does it capture the meaning of the passage in question? What exactly did Jesus mean by His statement?

Context provides the answer
One of the foundational principles for understanding a scriptural passage is to examine the context. What is the topic of discussion here?

We should first notice that the subject is food in general, not which meats are clean or unclean. The Greek word broma, used in verse 19, simply means food. An entirely different Greek word, kreas, is used in the New Testament where meat—animal flesh —is specifically intended (see Romans 14:21; 1 Corinthians 13:8). So this passage concerns the general subject of food rather than meat. But a closer look shows that more is involved.

The first two verses help us understand the context: "Then the Pharisees and some of the scribes came together to Him, having come from Jerusalem. Now when they saw some of His disciples eat bread with defiled, that is, with unwashed hands, they found fault" (verses 1-2). They asked Jesus, "Why do Your disciples not walk according to the tradition of the elders, but eat bread with unwashed hands?" (verse 5).

Now we see the subject further clarified. It concerns eating "with unwashed hands." Why was this of concern to the scribes and Pharisees?

The covenant God made with Israel at Mount Sinai was based on many laws and other instructions that ensured ritual purity. Jewish observance, however, often went beyond these in embracing the "oral law" or "tradition of the elders"—passed on by word of mouth and consisting of many additional man-made requirements and prohibitions tacked onto God's laws. Verses 3-4 of Mark 7 provide a brief explanation of the specific practice the Pharisees and scribes were referring to in this account: "For the Pharisees and all the Jews do not eat unless they wash their hands in a special way, holding the tradition of the elders ..."

Notice that food laws are not in question here. The topic is ritual purity based on the religious traditions of the oral law. The disciples were being criticized for not following the proper procedure of ceremonial hand-washing prescribed by these revered religious traditions.

The Jewish New Testament Commentary, explaining the background of verses 2-4, offers a description of this custom: "Mark's explanation of a ... ritual handwashing, in these verses corresponds to the details set forth in Mishna tractate Yadayim [the Mishna is a later written version of the oral tradition]. In the marketplace one may touch ceremonially impure things; the impurity is removed by rinsing up to the wrist. Orthodox Jews today observe [ritual hand-washing] before meals. The rationale for it has nothing to do with hygiene but is based on the idea that 'a man's home is his Temple,' with the dining table his altar, the food his sacrifice and himself the cohen (priest). Since the Tanakh [Old Testament] requires cohanim [priests] to be ceremonially pure before offering sacrifices on the altar, the Oral Torah requires the same before eating a meal" (David Stern, 1995).

By the time of Christ many had made these additional practices a top priority and in so doing sometimes overlooked and even violated the fundamental principles of the law of God (Matthew 23:1-4, 23-28).

Spiritual principle of purification
After decrying the hypocrisy of this and other religious traditions and practices of the day, Jesus gets to the heart of the matter. He explains that what defiles a person (in the eyes of God) comes not from the outside—by what one puts into his mouth—but from within (verse 15).

He said it is far more important to concentrate on what comes out of your heart than what you put into your mouth. Jesus explains: "For from within, out of the heart of men, proceed evil thoughts, adulteries, fornications, murders, thefts, covetousness, wickedness, deceit, licentiousness, an evil eye, blasphemy, pride, foolishness. All these evil things come from within and defile a man" (verses 21-23).

Some of these same qualities are listed in Galatians 5:19-21 as "works of the flesh." They are contrasted with the "fruit of the Spirit" (verses 22-23). "Love, joy, peace, longsuffering, kindness, goodness, faithfulness, gentleness [and] self-control" are qualities of a spiritually purified heart.

The ceremonial washings and purification practices of the Old Covenant were physical representations of the spiritual purification to be offered in the New Covenant (Hebrews 9:11-14). Hebrews 9:23 tells us: "Therefore it was necessary that the copies of the things in the heavens [referring to the tabernacle, altar, priests, etc.] should be purified with these [ceremonial purifications], but the heavenly things themselves with better sacrifices than these." So the apostle Paul writes that Jesus "gave Himself for us, that He might redeem us from every lawless deed and purify for Himself His own special people, zealous for good works" (Titus 2:14).

"Blessed are the pure in heart" is one of the fundamental teachings of Christ (Matthew 5:8).

Unwashed hands don't defile the heart
In Mark 7 Jesus explains that ceremonial washing is not necessary for spiritual purity or sound spiritual health. He points out that "whatever enters a man from outside cannot defile him, because it does not enter his heart but his stomach, and is eliminated, thus purifying all foods" (verses 18-19).

Jesus is simply stating here that any dirt or other incidental impurities not removed through elaborate hand-washing will be purged out by the human digestive system in a manner that has no bearing on the heart and mind of a person. Since spiritual purification involves the heart, ceremonial washings are ineffective and unnecessary in preventing spiritual defilement.

Several Bible scholars recognize the error of interpreting this passage as an abrogation of the laws of clean and unclean meats. Certain grammatical factors, as well as the context of Scripture, determine how to properly translate verse 19. The Greek word translated "purifying" is a participle and must agree in grammatical gender with the noun it describes. Because this participle has a masculine ending, it cannot refer to "stomach," which is in the feminine gender in Greek. Thus many scholars instead relate "purifying" back to "He said."

However, another alternative provides a better explanation. The expression "is eliminated" in the New King James Version is a euphemistic rendering of what the original King James Version translates as "goeth out into the draught." "Draught" (draft) is an archaic way to translate the Greek word aphedron, which means "a place where the human waste discharges are dumped, a privy, sink, toilet" (BibleWorks software). Aphedron is a masculine-gender noun, so "purifying" can refer to the end result of human waste, the toilet.

The Commentary on the New Testament: Interpretation of Mark explains the passage on the basis of this pertinent information: "The translation ... 'This he said, making all meats clean' makes the participial clause ['purifying all foods'] a remark by Mark ... that Jesus makes all foods clean— a remark ... that we cannot accept ... He is explaining to his disciples how no food defiles a man ... As far as this thought is concerned, Jesus expresses it already in the preceding clause: 'and goes out into the privy.' What he now adds is that the privy [the end result of the digestive process] 'makes all food clean' ... for all foods have their course through the body only, never touch the heart, and thus end in the privy ... Since the disciples are so dense, the Lord is compelled to give them so coarse an explanation. In this, however, he in no way abrogates the Levitical laws concerning foods" (R.C.H. Lenski, pp. 297-298, emphasis added).

The Jewish New Testament Commentary, in its note on verse 19, summarizes well the overall meaning of this passage: "Yeshua [Jesus] did not, as many suppose, abrogate the laws of kashrut [kosher] and thus declare ham kosher! Since the beginning of the chapter the subject has been ritual purity ... and not kashrut at all! There is not the slightest hint anywhere that foods in this verse can be anything other than what the Bible allows Jews to eat, in other words, kosher foods ...

"Rather, Yeshua is continuing his discussion of spiritual prioritizing (v. 11). He teaches that tohar (purity) is not primarily ritual or physical, but spiritual (vv. 14-23). On this ground he does not entirely overrule the Pharisaic/rabbinic elaborations of the laws of purity, but he does demote them to subsidiary importance."

Peter's testimony is significant
Can we find other biblical evidence that this view is correct, that Jesus never changed the biblical food laws? We find a telling event from the life of Peter well after Jesus' death and resurrection.

Peter is a central figure in the early Church. Jesus charged Peter to strengthen the brethren (Luke 22:32). Peter delivered a powerful sermon that led to the conversion of thousands (Acts 2:14-41). His boldly claiming the name of Christ resulted in the miraculous healing of a lame man. He powerfully preached on repentance to those who gathered to witness the miracle (Acts 3:1-26). Later the mere passing of Peter's shadow over the sick resulted in dramatic healings (Acts 5:15).

Surely Peter would have understood something as fundamental as whether Jesus had repealed the laws of clean and unclean meat. Yet, years after Christ's death and resurrection, when he experienced a vision of unclean animals accompanied by a voice telling him to "kill and eat," notice Peter's spontaneous response: "Not so, Lord! For I have never eaten anything common or unclean" (Acts 10:14, emphasis added throughout).

Ironically, many believe the purpose of this vision was to do away with the dietary restrictions regarding clean and unclean meats. Overlooked is the significance of Peter's initial response. He obviously did not consider these laws as having been rescinded by Christ!

This strange vision came to Peter three times, yet he still "wondered within himself what this vision which he had seen meant" (verses 16-17) and "thought about the vision" (verse 19). Peter did not jump to conclusions as too many do today. He already knew what the vision did not mean. Later God revealed the true meaning: "God has shown me that I should not call any man common or unclean" (verse 28).

Peter came to realize that the significance of the vision was that God was opening the way of salvation to gentiles (non-Israelites), so Peter shortly thereafter baptized the first uncircumcised gentiles God called into the Church (verses 34-35, 45-48). Peter was never to eat unclean animals, but he did learn this vital lesson in the plan of God.

Lessons for today
The moral of this story is that food laws and righteousness are not mutually exclusive. God gave His food laws for sound reasons. True righteousness entails submission and obedience to all of God's Word (Psalm 119:172; Matthew 4:4; 5:17-19).

Just for Youth... Right Dating: What Guys and Girls Want

By Randy Stiver

What's the general goal of much or most of dating today? That's right. It's all over the sitcoms, lots of the "chick flicks," R-rated movies and conversations among teens and young adults in school hallways and social hangouts. There's just one primary message about what too many guys and girls want of each other—and it's not good conversation, fine friendship or eventual marriage.

What's the endgame of wrong and promiscuous dating? Right again. Ragged and jaded emotions; sinfully violated bodies (both genders); a haunting, sad-eyed, brokenhearted, guilty conscience; premarital pregnancies ending in either the weary and lonely existence of single-mom misery or tiny aborted lives snuffed out before they can even cry for help.

Need we even mention sexually transmitted diseases and the statistical tendency of sexually active young people to engage in other risky behavior like smoking, drinking and illegal drug use with the related criminal paths such things can lead to? That's a crummy kind of dating.

Two questions

Now what about you? Consider two questions. First, what kind of dating does the loving God who made you want for you? Correct—a better kind of dating than that described above. Second, what as a guy do you want in a girl, or what as a girl do you want in a guy?

Remember, whether you're in your teens or 20s (or later), dating often leads to marriage. Right dating provides you the opportunity in the meantime to build good character and polish your personality as you get to know a variety of people, until ultimately you find your own true love.

The most famous British leader of the 20th century, Sir Winston Churchill, observed it this way: "Where does family start? It starts with a young man falling in love with a girl. No superior alternative has yet to be found."

Or ever will be. That's why God made us male and female. Marriage and family are God's way. The book of Proverbs frames the beauty of dating and true romantic love like this: "There are three things which are too wonderful for me, yes, four which I do not understand." The fourth one, perhaps most wonderful of all, was the way of a man with a young woman (Proverbs 30:18-19).

So what should a guy want to see in a girl, and what should a girl want to see in a guy? I recently posed that question to a group of more than 20 teens and young adults, mostly singles with a handful of young married couples. Their answers proved most insightful and instructive.

Ladies first: What girls want in guys

Gentleness and kindness, genuineness and sincerity. No interest here in the broody, hot-tempered and rough or the obsessively jealous. Easy to communicate with. They were silent on the silent type. Maturity on demand. Fun-loving is fine, but foolish is out. Chivalrous, respectful and eager to serve others. A fellow who opens doors for them and keeps his armor of honor well shined.

Appropriate self-confidence with a strong work ethic, finding joy in his work. When this kind of young man matures, he can and will provide well for his wife—and children. That's a serious concern on girls' minds, guys—girls who are thinking, that is. Self-control with money and toys and a tempered temperament. There are few things worse than being shackled to a broke, hot-tempered goof-off.

Patience with women and with womanly behavior they don't fully understand. This is very important when dating and in marriage. Not self-centered; interested in all types of people. This is the kind of guy girls love to be around. Thoughtful and appreciative—one "thank you" goes a long way. The females of the species get far too little credit for all they do, gentlemen.

A positive attitude when facing the challenges and trials of life. This is a sign and act of leadership. Tamed-down heroism in the daily details of life. This means he brings flowers, sends cards, etc. Creative attentiveness; he knows what to do and when (or at least takes such advice well). Takes initiative in making decisions. Remember, fellows, God made the man to be the primary leader of the family (see Ephesians 5).

Then came the guys' turn to comment on girls.

What guys want in girls

Honesty with diplomacy—a girl who kindly speaks her mind. Uncomplicated, and says what she means. Too much feminine mystique can be a mistake. Thinks for herself and is not clingy. A girl who fosters intelligent opinions and has the confidence and poise to pose them.

Gracefully polite and courteous. Manners matter to good guys. Graceful in damage control. She adroitly resolves difficulties and keeps her cool.

Graceful in posture; fit and strong. Did you know that, all the girls' sports programs notwithstanding, American girls statistically stop exercising at age 13? Guys can't help but notice the fit and strong ideal girl/woman of Proverbs 31:17.

A good sense of style and modesty in dress. Bugs and guys that sting are attracted by bare skin; not the kind of guy you want to win. Cleanliness in person and housekeeping. This reveals much about who you are inside (and it applies to guys too!).

Empathetic; notices the needs of others and is willing to serve. This is the essence of Christian love for fellow man. Desire to teach children. Remember, dating eventually leads to marriage, which leads to kids.

Good cook and good driver. Trust guys to think of the practical. Joyful, happy personality with a good sense of humor; a complete person. The girl who is balanced, comfortable with herself, emotionally healthy and who doesn't take herself too seriously is the kind of girl that guys are drawn to. Strong in the faith and dedicated to God and His ways. High spiritual standards may not make you popular with a lot of fellows, but they're not the ones you want to date anyway.

Then a funny thing happened in our discussion—the girls decided that they needed to add to their list of what they want to see in guys. Perhaps it's not surprising, though, because communications experts say that the average man speaks about 15,000 words a day, but the average woman intones closer to 30,000. So speak on, ladies.

More of what girls want

A good cook and a good eater. Lasses like lads who won't starve when they're on their own and who can lend a hand in the kitchen. Emotionally secure, with absolute trust and trustworthiness. Someone who is steady at the wheel and loyal to the core.

Ability to compromise on practical matters (and who doesn't pout when he doesn't get his own way). Common sense and intelligence. These are vital when a girl seeks to follow a guy's lead on a date or in life.

Willingness to change when needed. Stubbornness is unattractive in both genders. Ability to rightly prioritize his life. This kind of a fellow can get some traction. Right kind of ambition; a go-getter. This applies to education and career, and wise girls notice it.

Most importantly, a strong belief in God and His way of life. Spiritual wishy-washiness is a danger sign to girls with eyes to see.

It was a fascinating discussion. It was sound thinking from a perceptive group. Why not give this list a thought or two of your own? It may prove most useful in making your true dating experiences in family, group and couple settings come alive with value.

Don't sell yourself short. Don't give your heart—or body—to the wrong kind of person or at the wrong time.

Right dating is a fine art that, with practice, builds important life skills. In the middle of that emotional battlefield of the sexes called modern dating grows a perfect rose. Ask God to lead you to it, and when the time is right, with His blessing, to carry it home and make it your own.